Di pasar saham, tak ada nama yang secepat kilat mencuri sorotan belakangan ini selain Haji Isam — pengusaha tambang asal Batulicin, Kalimantan Selatan, yang namanya kembali menggema setelah Presiden Prabowo Subianto menganugerahinya Bintang Mahaputera Utama.
Tak lama berselang, saham-saham di bawah gurita bisnisnya — Jhonlin Agro Raya (JARR), Pradiksi Gunatama (PGUN), hingga Dana Brata Luhur (TEBE) — melesat bak roket, menembus batas auto reject atas selama berhari-hari.
Pasar seolah menerima pesan simbolik: restu kekuasaan adalah komoditas paling berharga di negeri ini.
Tak peduli fundamental perusahaan, laporan keuangan, atau neraca laba rugi — satu sentuhan politik bisa mengubah persepsi, dan persepsi bisa menggerakkan miliaran rupiah dana spekulatif dalam semalam.
Fenomena saham Haji Isam bukan sekadar soal ekonomi, tapi narasi tentang keberpihakan. Ketika seorang pengusaha dengan sejarah panjang di tambang dan energi mendapat penghargaan negara, sinyal yang terbaca bukan hanya “penghormatan”, tapi juga “pengesahan”.
Pemerintah memang tak pernah secara eksplisit mengarahkan pasar. Namun di republik ini, kata Presiden lebih kuat dari laporan auditor.
Tak sedikit analis menilai bahwa kenaikan saham JARR dan afiliasinya terjadi bukan karena keunggulan bisnis, melainkan karena keyakinan investor bahwa Haji Isam kini berada di dalam orbit kekuasaan yang aman — dilindungi, disukai, dan mungkin “dijamin”.
Dalam iklim ekonomi yang penuh ketidakpastian, jaminan politik lebih berharga daripada efisiensi produksi.
Namun di situlah masalahnya. Ketika kekuasaan memberi sinyal keberpihakan terlalu terang kepada segelintir pengusaha, pasar kehilangan objektivitasnya. Yang tumbuh bukan produktivitas, tapi kapitalisme pertemanan. Dan di negeri ini, kapitalisme model itu sudah lama terbukti subur — dari era kroni Orde Baru hingga oligarki modern hari ini.
Kisah Haji Isam hanyalah cermin dari pola lama yang tak kunjung berubah:
pengusaha yang kuat karena penguasa, dan penguasa yang nyaman dikelilingi pengusaha.
Dua sisi yang saling menguntungkan — setidaknya sampai badai politik berganti arah.
Di hadapan publik, sinergi semacam itu kerap dikemas sebagai “kemitraan strategis”, padahal sesungguhnya adalah pengalihan keseimbangan kekuasaan dari rakyat kepada pemodal.
Bila dibiarkan, pasar bukan lagi arena persaingan, tapi panggung persepsi, tempat harga saham naik bukan karena kerja keras, tapi karena tepukan pundak dari istana.
Dan di tengah gemuruh grafik hijau di lantai bursa, satu hal menjadi jelas:
di Indonesia, politik masih menjadi tambang paling menguntungkan.







Komentar