Sore itu, Rabu 5 November 2025, kereta cepat Jakarta–Bandung alias Whoosh mendadak berhenti di tengah rel layang dekat Stasiun Padalarang. Mesin mati, lampu kabin padam, penumpang terpaku menunggu tanpa penjelasan berarti. “Cuma suara permintaan maaf lewat pengeras,” kata Dedi Kurnia, salah satu penumpang. “Awalnya kecepatan turun jadi 20 kilometer per jam, lalu berhenti total.”
Gangguan itu hanya berlangsung puluhan menit, tapi cukup untuk membuat publik kembali mengernyit. Ini bukan kali pertama kereta cepat kebanggaan pemerintah itu bermasalah. Sebelumnya, operasi Whoosh juga sempat terganggu gara-gara layang-layang nyangkut di jaringan listrik.
Dan kini, komentar lama Luhut Binsar Pandjaitan terasa seperti nubuat. “Saya terima itu proyek sudah busuk,” katanya pada pertengahan Oktober lalu. Luhut, yang sempat turun tangan menyelamatkan proyek senilai miliaran dolar itu, mengakui sejak awal banyak masalah di dalamnya — dari pembengkakan biaya, tumpang tindih manajemen, sampai urusan utang yang tak kunjung tuntas.
Pernyataan Luhut semula dianggap hiperbola politik. Namun setelah insiden di jalur Padalarang, publik tampaknya mulai melihatnya bukan sekadar keluhan, melainkan peringatan dini.
“Sebagai produk baru, ini mengkhawatirkan,” kata Dedi. Kekhawatirannya beralasan: kereta supercepat yang dijanjikan akan memangkas jarak dan waktu kini justru berhenti di tengah jalan — simbol stagnasi yang tak disangka.
PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) belum memberi penjelasan resmi soal penyebab mogoknya Whoosh. Pesan konfirmasi dari Tempo kepada General Manager Corporate Secretary KCIC, Eva Chairunisa, juga belum dibalas hingga berita ini ditulis.
Sementara publik masih menunggu klarifikasi, satu hal jadi jelas: proyek yang diharapkan jadi simbol kemajuan malah berulang kali tersandung di relnya sendiri. Luhut mungkin benar — Whoosh bukan sekadar kereta cepat, tapi juga cermin dari betapa ambisi terkadang berlari lebih kencang dari kesiapan.







Komentar