Redenominasi, atau penyederhanaan jumlah digit dalam mata uang, bukanlah hal baru di dunia. Sejumlah negara telah melakukannya, sebagian berhasil, tetapi tak sedikit pula yang gagal. Indonesia kini kembali membuka wacana tersebut setelah Kementerian Keuangan memasukkan rencana redenominasi rupiah dalam agenda strategis nasional 2025–2029.
Jejak Wacana Redenominasi di Indonesia
Ide redenominasi rupiah sudah muncul sejak 2010, ketika Bank Indonesia (BI) di bawah Gubernur Darmin Nasution menyiapkan rencana besar pelaksanaannya dalam kurun sepuluh tahun. Namun rencana transisi pada 2013 tidak pernah terealisasi.
Upaya serupa muncul kembali pada 2017, saat Menteri Keuangan Sri Mulyani bersama Gubernur BI Agus DW Martowardojo mengajukan RUU Redenominasi Mata Uang kepada Presiden Joko Widodo. Lagi-lagi, pembahasan di DPR tak rampung hingga akhir periode 2019.
Wacana itu baru hidup kembali pada masa pandemi, melalui PMK No. 77/PMK.01/2020 tentang Rencana Strategis Kemenkeu 2020–2024. Kini, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan rencana itu berlanjut melalui PMK No. 70 Tahun 2025, dengan target RUU Redenominasi rampung pada 2027.
Belajar dari Pengalaman Negara Lain
Analis Doo Financial Futures, Lukman Leong, menilai redenominasi berpotensi positif jika dilakukan dalam kondisi yang tepat. Namun, keberhasilan sangat bergantung pada kesiapan sistem keuangan dan teknologi perbankan agar tidak terjadi kekacauan data atau perbedaan standar transaksi.
“Transisi harus serentak, dengan sosialisasi dan persiapan matang. Jika tidak, bisa menimbulkan kekacauan di sektor keuangan,” ujarnya.
Lukman menyebut Turki, Brasil, dan Prancis sebagai contoh sukses, sementara Zimbabwe, Venezuela, dan Argentina gagal menjalankan redenominasi.
Zimbabwe bahkan mengalami hiperinflasi hingga 79,6 miliar persen per bulan pada 2009, sebelum akhirnya meninggalkan dolar Zimbabwe dan beralih ke dolar AS.
Turki justru menjadi contoh relatif berhasil. Negara itu menghapus enam nol dari mata uangnya pada 2005, mengganti Lira Lama (TL) menjadi Lira Baru (YTL). Dalam tujuh tahun, seluruh uang lama ditarik, didukung stabilitas ekonomi yang kuat. Namun, krisis ekonomi beberapa tahun kemudian menunjukkan bahwa redenominasi bukan solusi permanen terhadap masalah nilai tukar.
Risiko dan Tantangan di Indonesia
Ekonom CELIOS Nailul Huda memperkirakan proses redenominasi bisa berlangsung hingga delapan tahun — tiga hingga empat tahun pembahasan di DPR, ditambah empat tahun masa uji coba. Ia menilai biaya implementasi bisa mencapai ratusan miliar rupiah, baik untuk pemerintah maupun sektor swasta yang harus menyesuaikan sistem mereka.
“Risiko paling besar adalah inflasi, terutama jika masyarakat tidak memahami bahwa redenominasi tidak mengubah nilai uang,” katanya.
Menurut Huda, dalam kondisi ekonomi yang belum stabil dan masih banyak tekanan eksternal, sebaiknya pemerintah memprioritaskan stabilisasi nilai tukar dan pengendalian inflasi terlebih dahulu.
Hanya Pangkas Digit, Bukan Pangkas Nilai
Chief Economist Permata Bank Josua Pardede mengingatkan, redenominasi berbeda dengan devaluasi. Kebijakan ini hanya memangkas digit angka, bukan menurunkan nilai uang atau menaikkan harga barang.
“Selama inflasi terkendali, kurs stabil, dan komunikasi publik dilakukan dengan baik, redenominasi bersifat netral terhadap inflasi,” jelas Josua.
Ia menilai langkah ini dapat membantu penyederhanaan transaksi dan pembukuan, tetapi tidak seharusnya dianggap solusi untuk memperbaiki daya beli atau memperkuat kurs rupiah.
Menanti Kepastian Hukum
Dalam PMK No. 70/2025, pemerintah menargetkan RUU Redenominasi Rupiah selesai pada 2027. Meski begitu, pelaksanaannya tetap akan bergantung pada stabilitas ekonomi nasional dan kesiapan infrastruktur keuangan.
Langkah ini diharapkan bisa menjadi bagian dari penataan sistem moneter, bukan sekadar kosmetik ekonomi. Sebab, jika salah momentum, redenominasi justru bisa membuka luka baru di tengah ekonomi yang masih rapuh dan tingkat kepercayaan publik yang belum pulih.







Komentar