Banjir Sumatra: Bukan Semata Akibat Kerusakan Hutan, tetapi Juga Anomali Cuaca

Pengalaman Menyusuri Hutan Aceh

Setiap kali pulang ke kampung istri, saya selalu meluangkan waktu untuk menjelajahi hutan-hutan di Aceh, khususnya di Aceh Utara dan Aceh Tengah. Dalam perjalanan-perjalanan itu, saya ditemani seorang pejuang lingkungan yang telah lebih dari tiga dekade berjuang sendirian menjaga kawasan hutan. Banyak orang menjulukinya orang gila atau bahkan memanggilnya menteri hutan, namun sebutan itu muncul karena ketulusannya menjaga alam tanpa pamrih.

Selama 36 tahun, ia berhasil mempertahankan kurang lebih 300 hektare kawasan hutan dari penguasaan perusahaan milik negara. Setiap hari Jumat, ia rutin membawa berbagai jenis buah untuk memberi makan satwa liar. Monyet ekor panjang hingga monyet hitam besar, bukan lutung, sering kali datang menyambut kedatangannya seolah mengenal bahwa ia adalah manusia yang membawa kebaikan.

Nama penjaga hutan itu adalah Cik Mail.

Mempertahankan Hutan dari Penjarahan

Suatu ketika, saat kami menyusuri hutan, kami mendapati seorang warga yang hendak menebang pohon besar di kawasan lindung tersebut. Cik Mail langsung bereaksi keras dan penebangan itu akhirnya batal.

Di kesempatan lain, sekitar tahun 2021, di kawasan hutan berbeda, kami menemukan tumpukan kayu besar dan alat berat modern. Ukuran kayunya tidak mungkin berasal dari aktivitas legal. Namun melapor kepada pemerintah setempat juga bukan pilihan karena warga mengatakan bahwa aktivitas itu melibatkan orang kuat. Saya pun masih dianggap orang baru.

Akhirnya, saya mengirimkan foto dan dokumentasi penemuan itu ke grup WhatsApp yang berisi perwakilan KLHK, aktivis lingkungan, dan mantan Menteri KLHK. Beberapa hari setelah laporan dikirim, sebuah helikopter terlihat berputar-putar di kawasan tersebut. Aktivitas illegal logging sempat berhenti beberapa waktu, tetapi hanya sementara. Beberapa minggu kemudian, aktivitas itu kembali berjalan dengan alat yang lebih kecil dan mudah dibawa masuk ke hutan.

Isyarat Banjir Besar

Melihat kondisi hutan yang terus dirambah, saya pernah berkata kepada Cik Mail,

“Jika ini terus berlanjut, banjir besar hanya tinggal menunggu waktu. Air sungai sudah sangat keruh di banyak aliran, termasuk Krung Kerto.”

Cik Mail terus melanjutkan perjuangannya. Setiap Jumat, ia mengirimkan kabar perkembangan dari wilayah yang ia lindungi, yang sebagian sudah masuk ke dalam konsesi perusahaan perkebunan. Ia berjuang agar kawasan itu tidak hilang.

Namun ketika banjir besar melanda, pemerintah melalui pernyataan menteri menyebut bahwa kayu-kayu yang hanyut terbawa arus hanyalah kayu lapuk, bukan hasil tebangan. Pernyataan itu terasa janggal bagi siapa pun yang memahami kondisi hutan di lapangan. Jika para pejabat mau melihat langsung lokasi banjir, mereka akan menyadari betapa parahnya kerusakan yang terjadi.

Air Tetap Sama, yang Berubah Adalah Cara Kita Menjaga Alam

Secara prinsip, banjir adalah perpindahan air dari satu tempat ke tempat lain. Jumlah air di bumi tidak pernah berubah. Alam diciptakan dalam keseimbangan. Namun keseimbangan itu terganggu ketika berbagai faktor, mulai dari aktivitas manusia hingga anomali cuaca, saling memperburuk satu sama lain.

Kerusakan hutan bukan satu-satunya penyebab banjir besar di Sumatra, tetapi mengabaikannya sama saja menutup mata terhadap kenyataan bahwa ekosistem kita sedang berada dalam kondisi kritis.

Oleh : Deman H.G (Aktivis Lingkungan)

Komentar