*Desi Suyamto adalah seorang peneliti aktif, khususnya di Pusat Ilmu Lingkungan IPB. Ia juga pernah bekerja sebagai peneliti untuk beberapa institusi penelitian lain, termasuk BIOTROP, World Agroforestry Center (ICRAF), dan CIFOR.
BANJIR SUMATRA: KETIKA MENYALAHKAN CUACA ITU MENGABAIKAN SAINS HIDROLOGI
Oleh: Desi Suyamto
Pakar ilmu tanah IPB, Dr. Basuki Sumawinata, melalui pemberitaan SindoNews, menyebutkan bahwa banjir besar di Sumatra murni disebabkan oleh hujan ekstrem akibat siklon tropis dan bukan oleh perubahan tutupan lahan, termasuk bukan diakibatkan oleh ekspansi perkebunan kelapa sawit (https://nasional.sindonews.com/read/1653015/15/banjir-sumatera-dipicu-siklon-tropis-ekstrem-pakar-tanah-ipb-bukan-sawit-1765159972).
Argumen ini terdengar meyakinkan karena memang benar bahwa siklon dapat menghasilkan curah hujan sangat tinggi—bahkan mencapai 300–400 mm dalam tiga hari. Namun, penjelasan tersebut hanya menyentuh satu sisi dari persoalan.
Dalam ilmu meteorologi, hujan ekstrem adalah pemicu banjir. Namun dalam ilmu hidrologi, banjir adalah hasil interaksi kompleks antara input hujan dan kondisi lanskap. Ketika lanskap mengalami degradasi, dampak hujan ekstrem meningkat secara signifikan. Karena itu, menyatakan bahwa faktor ekspansi perkebunan kelapa sawit dan deforestasi “tidak relevan” pada peristiwa banjir ekstrem tidaklah sesuai dengan bukti empiris hidrologi modern.
METEOROLOGI MENJELASKAN BERAPA BANYAK AIR YANG JATUH, BUKAN BAGAIMANA LANSKAP MERESPONS
Siklon tropis memang mampu menghasilkan hujan jauh di atas kapasitas normal di atas sebuah daerah aliran sungai (DAS). Namun, meteorologi tidak menjelaskan mengapa banjir dapat mencapai tingkat kerusakan tertentu atau mengapa satu DAS lebih rentan daripada DAS lainnya.
Ilmu hidrologi menunjukkan bahwa respons DAS terhadap hujan ekstrem ditentukan oleh:
▪ kondisi tutupan lahan,
▪ kapasitas infiltrasi tanah,
▪ keberadaan hutan dan struktur akar,
▪ tingkat erosi dan sedimentasi,
▪ dan tingkat gangguan lanskap di hulu.
Bukti paling klasik dan berpengaruh datang dari studi Bosch & Hewlett (1982)—salah satu artikel paling banyak disitasi dalam sejarah hidrologi, di mana artikel ini telah disitasi sebanyak 4000 kali. Bosch & Hewlett (1982) menunjukkan bahwa perubahan vegetasi secara konsisten mengubah evapotranspirasi, infiltrasi, dan debit sungai. Ketika hutan diganti oleh lahan terbuka atau perkebunan monokultur, air jauh lebih cepat bergerak menuju sungai dan meningkatkan debit puncak.
Artinya, curah hujan ekstrem tidak dapat dipisahkan dari kondisi lanskap penerimanya.
DARI PEMICU KE PENGUAT: BAGAIMANA KERUSAKAN LANSKAP MEMPERBESAR BANJIR
Penelitian berskala global telah berulang kali menunjukkan bahwa deforestasi memperbesar risiko banjir—terlepas dari pemicunya.
Studi Bradshaw et al. (2007) dalam Global Change Biology, salah satu studi yang paling banyak dirujuk dalam isu deforestasi–banjir (yaitu telah disitasi sebanyak 899 kali), menganalisis data dari 56 negara dan menemukan bahwa hilangnya tutupan hutan secara signifikan meningkatkan frekuensi, durasi, dan keparahan banjir. Negara-negara berkembang—termasuk Indonesia—menjadi kelompok yang paling terdampak.
Sementara itu, tinjauan komprehensif oleh Brown et al. (2005) terhadap puluhan studi “paired catchment” menunjukkan pola yang sangat konsisten, yaitu bahwa pembukaan hutan meningkatkan debit puncak, mempercepat aliran permukaan, meningkatkan erosi dan sedimentasi, dan mengubah karakter sungai dalam waktu singkat.
Ketika hutan atau vegetasi alami hilang, amplifikasi banjir terjadi karena:
▪ infiltrasi tanah menurun, sehingga air hujan lebih banyak menjadi limpasan permukaan,
▪ debit puncak meningkat, yang memperburuk risiko luapan mendadak yang menyebabkan banjir bandang,
▪ sedimen, erosi, dan puing-puing kayu besar (large woody debris) lebih mudah terbawa arus, memperparah kerusakan infrastruktur hilir.
Dengan demikian, menyimpulkan bahwa perubahan tutupan lahan “tidak relevan” pada curah hujan ekstrem justru bertentangan dengan bukti empiris hidrologi dari sumber-sumber ilmiah yang kredibel.
FAKTA PENTING: HUTAN MEMANG TIDAK MENGHILANGKAN RISIKO BANJIR EKSTREM, TAPI MENGURANGI SKALANYA
Argumen seperti yang disampaikan oleh Dr. Basuki Sumawinata: “bahkan hutan pun tidak mampu menahan hujan ekstrem sebesar 400 mm/3 hari”, tidak serta-merta berimplikasi bahwa deforestasi dan ekspansi perkebunan kelapa sawit tidak berpengaruh dalam peristiwa banjir, sehingga bisa diabaikan.
Kajian Ellison et al. (2012) menunjukkan bahwa hutan menyediakan tiga fungsi mitigasi kunci dalam setiap peristiwa hujan ekstrem:
▪ meningkatkan infiltrasi, sehingga mengurangi volume limpasan,
▪ menurunkan kecepatan aliran, sehingga debit puncak lebih rendah,
▪ mengontrol erosi, menjaga sedimen dan puing-puing kayu besar tidak masuk ke sungai.
Ketika fungsi ini hilang, dua DAS dengan curah hujan yang sama dapat menghasilkan dampak banjir yang sangat berbeda.
Dengan demikian, benar bahwa hutan bukan perisai mutlak. Namun salah jika kesimpulannya adalah “kondisi tutupan lahan tidak berpengaruh”.
MENGAPA NORMA SAINTIFIK PENTING DALAM ANALISIS ILMIAH
Membuat klaim bahwa sawit atau deforestasi tidak berperan dalam bencana banjir seharusnya didukung oleh:
▪ analisis tutupan lahan multi-dekade,
▪ model hidrologi terukur,
▪ kajian erosi dan sedimentasi,
▪ dan data hidrograf sungai.
Tanpa itu, klaim tersebut berisiko menjadi bentuk oversimplifikasi atau bahkan mencerminkan konflik kepentingan—sesuatu yang bertentangan dengan etika ilmiah Mertonian tentang ketidakberpihakan.
Dalam konteks kebijakan publik, menafsirkan banjir ekstrem sebagai persoalan “cuaca semata” juga berbahaya. Ini mengabaikan peluang perbaikan tata kelola hulu yang secara ilmiah justru memiliki kontribusi besar dalam mengurangi risiko bencana.
MENUJU KEBIJAKAN BANJIR BERBASIS SAINS: MENGGABUNGKAN METEOROLOGI DAN EKOLOGI
Temuan-temuan penting dari beberapa riset bereputasi adalah sebagai berikut:
▪ hutan tidak menghapuskan risiko banjir, tetapi secara konsisten mengurangi besarnya dampak banjir,
▪ perubahan penggunaan lahan memiliki dampak terukur pada debit sungai, erosi, dan banjir,
▪ pada curah hujan ekstrem, kondisi DAS menentukan skala kerusakan,
▪ pengelolaan hulu DAS merupakan bagian dari adaptasi terhadap perubahan iklim.
Karena itu, kebijakan mitigasi banjir di Indonesia harus bergerak dalam dua jalur paralel:
▪ beradaptasi terhadap peningkatan intensitas hujan ekstrem akibat perubahan iklim global,
▪ dan memulihkan kapasitas ekologis DAS melalui konservasi hutan, rehabilitasi riparian, pengendalian erosi, dan penegakan tata ruang.
Mengabaikan salah satu jalur akan menghasilkan kebijakan yang timpang dan tidak efektif.
KESIMPULAN: BANJIR BESAR TIDAK PERNAH DISEBABKAN CUACA SEMATA
Bukti ilmiah dari hidrologi internasional menunjukkan bahwa:
▪ Hujan ekstrem adalah pemicu, namun kondisi lanskap menentukan apakah itu menjadi banjir biasa atau sebuah bencana besar.
▪ Karena itu, diskusi publik tentang banjir di Sumatra sebaiknya tidak berhenti pada fenomena siklon tropis. Jika Indonesia ingin mengurangi risiko bencana di masa depan, perbaikan tutupan lahan, konservasi hutan, dan penataan DAS harus menjadi bagian integral dari strategi nasional.
▪ Meteorologi adalah bab pertama, tetapi kondisi hulu sungai adalah bab yang menentukan akhir ceritanya.
REFERENSI:
Bosch, J. M., & Hewlett, J. D. (1982). A review of catchment experiments to determine the effect of vegetation changes on water yield and evapotranspiration. Journal of Hydrology, 55, 3–23.
Bradshaw, C. J. A., Sodhi, N. S., Peh, K. S.-H., & Brook, B. W. (2007). Global evidence that deforestation amplifies flood risk and severity in the developing world. Global Change Biology, 13(11), 2379–2395.
Brown, A. E., Zhang, L., McMahon, T. A., Western, A. W., & Vertessy, R. A. (2005). A review of paired catchment studies for determining the effects of land-use change on streamflow. Journal of Hydrology, 310, 28–61.
Ellison, D., Futter, M. N., & Bishop, K. (2012). On the forest cover–water yield debate: from demand- to supply-side thinking. Global Change Biology, 18(3), 806–820.







Komentar