𝐁𝐚𝐧𝐣𝐢𝐫 𝐊𝐚𝐫𝐞𝐧𝐚 𝐏𝐚𝐦𝐞𝐫 𝐀̀𝐮𝐫𝐨𝐭 & 𝐉𝐨𝐠𝐞𝐭 𝐓𝐢𝐤𝐓𝐨𝐤?
✍🏻Arsyad Syahrial
Membaca postingan Mr Ngustad ini saya asli miris, bagaimana tidak? Kok ya penyebab muṣībah selalu ditimpakan hanya kepada rakyat semata?
Coba ya, di dalam Syariah, yang namanya muṣībah itu selalu punya dua jenis sebab, yaitu:
(1) Sebab Ṡarìyyah, yaitu sebab yang terkait dengan dosa, kelalaian, dan keẓōliman manusia.
(2) Sebab Kauniyyah, yaitu sebab yang terkait ḥukum alam yang Allōh ﷻ tetapkan sejak awal penciptaan, semisal: hidrologi, pergeseran lempeng, dan ekosistem.
Kedua sebab ini wajib diterima bersama, sedangkan menghapus salah satunya berarti menolak sebagian Sunnatullōh.
Oleh karena itu adalah keliru berat apabila ada yang mengatakan bahwa banjir, gempa, atau bencana besar itu bukan karena sebab alamiah, akan tetapi karena perempuan pamer àurot atau joget-joget di TikTok.
Kenapa?
Karena itu adalah kekacauan berpikir yang mengacaukan dua jenis sebab:
– Menolak Sunnatullōh Kauniyyah, sekaligus
– Menduga-duga kehendak Allōh tanpa dalīl syar’i.
Padahal, Baginda Nabi ﷺ tak pernah menyimpulkan muṣībah tertentu kepada dosa tertentu tanpa berdasarkan waḥyu.
Mengaitkan banjir bandang dengan pakaian perempuan yang mengumbar àurot atau joget di TikTok adalah klaim yang tak berdiri di atas dalīl apalagi data.
👉Banjir bandang di Sumatera adalah contoh nyata bagaimana kedua jenis sebab itu bekerja.
(1) Secara Kauniyyah, penyebab banjirnya jelas & terukur, yaitu: penggundulan hutan & pembakaran lahan, merajalelanya pembalakan liar, korporasi sawit yang melakukan deforestasi dengan membakar hutan dan merusak lahan gambut, serta daerah aliran sungai yang rusak akibat hilangnya penyangga ekologis.
Menggunakan dalih “para Nabiyy juga tukang kayu” untuk membenarkan pembabatan hutan pada masa kini adalah qiyās (analogi) yang bāṭil. Para Nabiyullōh mengambil kayu itu secukupnya untuk ḥajat hidup, bukan melakukan land clearing puluham ribu hektar yang memusnahkan daerah resapan air demi memuaskan kerakusan industri.
Pun menganggap remeh dampak deforestasi dengan mengatakannya sebagai perkara yang “mubāḥ”, maka itu jelas keliru! Sebab di dalam Islām ḥukum asal sesuatu bisa berubah dari mubāḥ menjadi ḥarōm jika menimbulkan muḍorroh (bahaya). Bukankah ada qōìdah fiqh “لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ” (arti: tak boleh membahayakan diri dan tak boleh membahayakan orang lain) dan qōìdah fiqh “دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ” (arti: menolak kerusakan didahulukan atas mengambil manfaat).
Menebang pohon itu asalnya mubāḥ, namun ketika menyebabkan longsor yang dapat mengancam jiwa orang tak berdosa, maka perbuatan itu menjadi ḥarōm. Menanam sawit itu mubāḥ, tetapi jika itu merusak alam dan menghancurkan ekosistem, maka jadi ḥarōm.
Tanpa pohon, tanah kehilangan daya serap air. Tanpa gambut, air meluber liar. Tanpa hutan sebagai penahan, air turun tanpa kendali dan berubah menjadi banjir bandang. Ini adalah ḥukum alam, fakta Sunnatullōh Kauniyyah yang tidak bisa ditolak oleh àqal sehat dan IPTek.
(2) Secara Ṡarìyyah, justru pelaku perbuatan perusakan hutan itu bukan perempuan yang pamer àurot atau joget-joget di TikTok, akan tetapi pelakunya adalah mereka-mereka yang melakukan “fasādun fil-arḍ”, yaitu: para pembalak liar, mafia kayu, korporasi yang membakar hutan dan merusak lahan gambut, serta para pejabat yang menutup mata demi suap. Merekalah yang merusak bumi yang Allōh ﷻ perintahkan untuk dijaga. Kerusakan ekologis adalah ma`ṣiyah besar, dan dampaknya menimpa masyarakat luas!
Adapun firman-Nya:
ظَهَرَ ٱلۡفَسَادُ فِى ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ بِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعۡضَ ٱلَّذِى عَمِلُواْ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ
“Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan manusia. Allōh menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” [QS ar-Rūm (30) ayat 41].
Oleh banyak ùlamā’ mufassir (ahli tafsīr) dimaknai sebagai kerusakan fisik juga, sebab “perbuatan tangan manusia” itu mencakup keserakahan, eksploitasi alam berlebihan, membuang sampah sembarangan, dan merusak keseimbangan ekosistem.
Jadi muṣībah banjir bandang di Sumatera itu lahir dari kombinasi sebab Kauniyyah dan Ṡarìyyah, dan keduanya justru mengarah ke kelompok yang sama, yaitu: para perusak hutan, para pembalak liar, dan para pemakan keuntungan ḥarōm dari kerusakan alam lingkungan.
❌Adapun menyalahkan banjir pada perempuan yang pamer àurot hanyalah pengalihan issue yang mengaburkan kejahatan ekologis yang nyata, terstruktur, brutal, dan massive. Islām tidak pernah mengajarkan kita untuk mengabaikan ḥukum alam.
Berdoa dan bertobat dari maksiyat itu wajib, namun menyalahkan korban bencana (victim blaming) dengan alasan “kurang īmān”, “pamer àurot”, atau “joget di TikTok”, namun tak tahu malu menutup mata terhadap kejahatan korporasi (oligarki) yang merusak hutan yang dibarengi oleh kelakuan korup dari para pejabat yang menjadi backing illegal loging dan taipan hitam, maka itu adalah ciri khas dari àqīdah sesat Neo Murji-ah (murji-ah maàl-ḥukkām, ḳowārij maàd-duȁh).
Demikian.








Komentar