Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto kembali membuka pembahasan mengenai pemberian abolisi, amnesti, dan rehabilitasi bagi sejumlah individu yang tersangkut perkara pidana. Rapat koordinasi lintas kementerian dan lembaga digelar di bawah komando Kementerian Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kemenko Kumham Imipas) pada Kamis (13/11/2025).
Pertemuan tersebut melibatkan sejumlah institusi strategis, antara lain Kemenko Polhukam, Kejaksaan Agung, Polri, BNPT, BNN, Kemenkumham, hingga Kemendagri. Langkah ini menandai gelombang kedua pemberian abolisi dan amnesti setelah Prabowo menggunakan hak prerogatifnya kepada 1.100 narapidana pada Agustus lalu.
Gelombang Permohonan Terus Mengalir
Menko Kumham Imipas, Yusril Ihza Mahendra, menyebut lonjakan permohonan dari publik menjadi salah satu alasan pembahasan digelar lebih cepat dari perkiraan. Banyak keluarga tersangka hingga terdakwa mengajukan audiensi dan permohonan resmi agar nama kerabat mereka dipertimbangkan sebagai penerima abolisi, amnesti, ataupun rehabilitasi.
“Mengingat begitu banyak permohonan dan audiensi yang diajukan, kami memandang perlu untuk melakukan rapat koordinasi dengan beberapa kementerian dan lembaga,” ujar Yusril di kantornya.
Hasil kajian dari rakor akan dirangkum oleh Kemenko Kumham Imipas sebelum dibawa ke Presiden Prabowo untuk mendapatkan keputusan final.
Alur Keputusan: DPR dan MA Berperan
Jika Presiden menyetujui pemberian abolisi dan amnesti, pemerintah wajib mengajukan permohonan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sementara untuk rehabilitasi hukum, rujukan mesti diberikan terlebih dahulu oleh Mahkamah Agung (MA).
Hal ini menunjukkan bahwa meski memiliki sifat prerogatif, keputusan presiden tetap melalui mekanisme checks and balances.
Kasus “Menggantung” Ikut Dipertimbangkan
Pemerintah juga menyoroti nasib para tersangka dengan status perkara “menggantung”—mereka yang tidak pernah menerima SP3, namun kasusnya tidak dilimpahkan ke pengadilan. Bahkan ada di antara mereka yang SPDP-nya sudah dikembalikan kejaksaan, tetapi penyidik tidak menghentikan penyidikan.
Kondisi ini memicu ketidakpastian hukum dan menyulitkan tersangka menjalani kehidupan sosial, mulai dari kesulitan membuat SKCK, mendirikan perusahaan, hingga menanggung beban sosial di keluarga. Beberapa di antaranya bahkan telah meninggal dunia tanpa memperoleh kejelasan status hukum.







Komentar