ANDAIKAN SAYA ADALAH REKTOR UGM

Saya bukan rektor UGM, tentu saja.
Andai saya berada di posisi Prof. Ova Emilia saat ini sebagai rektor Universitas Gadjah Mada, apa yang akan saya lakukan?

Pertama, sebagai rektor, saya tidak akan pernah merespon isyu dan komen masyarakat mengenai gelar dan ijazah Jokowi. Mengapa?

Mengaku sebagai alumni UGM itu adalah urusan dan tanggungjawab individual, bukan urusan UGM. Terserah dia untuk mengaku alumni mana pun. Siapapun yang tidak percaya, silakan berurusan langsung pada yang bersangkutan.
Hubungan alumni dengan almamaternya biasanya segera hilang. Secara emosional mungkin masih ada sisa kebanggaan sebagai alumni dan secara administratif hanya ada di awal kelulusan ketika alumni masih memerlukan bantuan administratif seperti pengesahan kopi ijazah dan transkrip. Setelah itu, semua selesai.

Perguruan tinggi tidak mungkin dan memang tidak perlu mengendalikan perilaku individual alumninya.
Ketika seorang yang kebetulan alumni UGM berprestasi cemerlang di masyarakat, itu tidak dapat langsung diklaim sebagai hasil didikan UGM. UGM hanya menjadikan ia sebagai sarjana pada bidang ilmu tertentu, dan bertanggungjawab atas kualitas kesarjanaanya, itu saja. Setelah itu, semuanya harus diatribusikan pada individu yang bersangkutan.
Kalau sebaliknya ia menjadi penipu, pembohong besar, maling, atau koruptor, juga tidak dapat menyalahkan UGM. UGM tidak mengajarkan kejahatan.
Jadi, kalau diisyukan Jokowi bergelar palsu dan tidak punya ijazah, ya bukan urusan UGM.

Kedua, sebagai rektor, saya tidak melayani tuntutan dari sebagian masyarakat agar UGM memberikan kesaksian atau klarifikasi atas kebenaran ijazah Jokowi. Kenapa?

Lha urusannya apa dengan UGM? Relevansinya apa dengan rektor?
Ada orang ngaku alumni UGM kenapa rektor UGM yang ribet memberikan klarifikasi? Aneh.
Mereka yang berkepentingan silakan datang ke UGM untuk memeriksa sendiri.
Tidak perlu ke Rektor, cukup datang ke Bagian Akademik Fakultas atau Bagian Akademik Universitas. Di sana pasti ada data resmi nama alumni lengkap dengan nomor mahasiswa, tanggal kelulusan dan tanggal wisuda, dan nomor ijazah. Di sana juga ada data mahasiswa dari setiap Angkatan lengkap dengan nomor registrasi dan nomor mahasiswa beserta status terakhirnya.

Ketiga, bila seseorang melakukan kejahatan atau tindak pidana berkaitan dengan statusnya sebagai alumni dan pihak berwajib memerlukan kesaksian pihak UGM, tentu UGM akan siap bersaksi di pengadilan. Dalam hal ini UGM akan mengirimkan pejabat yang paling relevan semisal Wakil Rektor Akademik atau cukup kepala Bagian Akademik. Tentu saja dengan membawa bukti berupa dokumen akademik resmi, bukan narasi opini atau keyakinan pribadi.

Jadi sebenarnya lucu kalau mencoba meyakinkan bahwa Jokowi dulu betul-betul menjadi mahasiswa Fakultas Kehutanan. Status mahasiswa itu tidak menjamin seseorang jadi alumnus dan punya ijazah. Biasa saja kalau sebagian mahasiswa akhirnya DO.
Percuma juga meyakinkan orang lain dengan acara reuni. Reuni itu bukan untuk alumni tetapi untuk teman seangkatan, termasuk teman yang DO.
Lebih lucu lagi mencari bukti bayar mahasiswa baru, bukti pembayaran SPP, dsb. Buat apa? Bayar SPP tidak menjamin seseorang dapat ijazah.
Paling lucu adalah mencoba meyakinkan orang bahwa si A adalah dosen pembimbing skripsi atau dosen pembimbing akademik. Punya dosen pembimbing dan punya dosen akademik itu tidak menjamin seseorang lulus dan dapat ijazah.
Bukti paling konkrit seseorang itu lulus sarjana adalah ijazah. Dan yang pegang ijazah adalah pemiliknya sendiri.
Ngapain saya sebagai rektor harus sibuk klarifikasi?

Dengan demikian UGM tidak runyam seperti sekarang ini. Bukan salah masyarakat kalau UGM kehilangan marwah, masyarakat luar tidak dapat dituntut untuk membedakan posisi pribadi rektor dengan posisi UGM sebagai Lembaga Pendidikan.
(Jangan lupa, saya bukan rektor UGM).

*dari fb PROF. AZWAR (Guru Besar Fak. Psikologi UGM)

Komentar