Adityawarman dan Tahta tinggi tumpukan mayat manusia

Dalam prasasti Suruwaso (Saka 1297), diceritakan Raja Adityawarman duduk di tahta tinggi lalu, makan, minum dan tertawa dengan bau-bauan yang sulit dikatakan jenisnya, yang mengitarinya.

Peristiwa ini bila ditilik dari kitab Guhya Samajatantra (salah satu kitab aliran Kalackra), pengalaman Padmasambhaba di Tibet, Tahta Tinggi adalah tumpukan mayat manusia, minum adalah minum darah manusia dan bau-bauan yang sulit dikatakan jenisnya adalah bau tak sedap dari daging mayat manusia yang terbakar dalam remasik di upacara smasana, Ini adalah ritus penyucian Aditywarman menjadi seorang Bhairawa.

(B.R Chatterjerjee, NP. Chakravarti, Sejarah Panjang Hubungan India Jawa, Bukti-bukti Arkeologi dan Prasasti-Prasasti hal. 228-229)

Adityawarman adalah raja dari Kerajaan Melayu (Pagaruyung), yang kemudian memindahkan pusat kerajaan dari Dharmasraya ke Pagaruyung di Minangkabau dan membawa kerajaan itu ke puncak kejayaannya (1347–1375 M).

Berdasarkan catatan sejarah, ia diyakini merupakan keturunan raja Majapahit, Hayam Wuruk, melalui garis ibunya.

Beberapa sumber menyebutkan bahwa Adityawarman diutus oleh Hayam Wuruk untuk menjadi penguasa di daerah Minangkabau, dengan tujuan untuk memperkuat pengaruh Majapahit di wilayah tersebut.

Adityawarman beragama Buddha, penganut aliran Vajrayana, dan pengikut ajaran Siwa-Buddha, sebuah aliran yang juga dianut oleh banyak bangsawan di Singhasari dan Majapahit. Ia juga memproyeksikan dirinya dalam arca Amoghapasa, yang menunjukkan hubungannya dengan tradisi Buddha tersebut.

(Arif Wibowo)

Komentar