
Hari ini, ketika Aceh dilanda banjir, gempa, atau bencana alam lainnya, yang pertama dimintai tolong adalah Jakarta. Itu wajar, karena Aceh kini adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Namun sejarah mencatat satu fakta penting: ketika Aceh dijajah, diancam, dan diperangi kekuatan asing non-Muslim, yang dimintai tolong bukan India, bukan ke Negeri Negeri Asia tapi Khilafah Turki Utsmani.
Sekali lagi, Ini bukan klaim ideologis, bukan pula romantisme politik, melainkan FAKTA SEJARAH yang terdokumentasi dalam kronik Aceh, arsip Utsmani, dan catatan sejarawan modern.
Ancaman Portugis dan Kesadaran Dunia Islam
Sejak Portugis merebut Melaka pada 1511, kawasan Selat Melaka berubah menjadi medan perang antara Islam dan imperium Kristen Eropa. Portugis:
– Menyerang kapal dagang Muslim
– Mengganggu jamaah haji dari Asia Selatan dan Nusantara
– Menjadikan Melaka basis militer dan misionaris
Aceh Darussalam, sebagai kekuatan Islam terbesar di Sumatera, tidak memandang masalah ini sebagai konflik lokal, melainkan ancaman terhadap umat Islam secara global.
Karena itu, Aceh melakukan langkah yang pada zamannya sangat logis: Meminta bantuan kepada Khalifah kaum Muslimin, yaitu Sultan Turki Utsmani di Istanbul.
Dan Khalifah Sulayman al-Qanuni yang mengetahui itu, akhirnya mengirim surat ancaman kepada Raja Portugis di Lisbon, Dom Sebastião, dengan mengatakan,
“Telah dilaporkan kepada saya bahwa jamaah haji dan para pedagang Muslim yang datang dari India melalui laut telah dianiaya. Jika engkau masih membangkang, maka dengan pertolongan Allah yang Maha Agung, kami akan melakukan segala hal yang diperlukan untuk memulihkan ketertiban di negeri-negeri itu, dan tiada guna lagi bagi engkau untuk memprotesnya!” (Casale, 2010: 125).
Bukti 1: Utusan Resmi Aceh ke Istanbul (Abad ke-16)
Pada masa Sultan ‘Ala’uddin Ri‘ayat Syah al-Qahhar (w. 1571), Aceh mengirim utusan resmi ke Istanbul sekitar tahun 1566.
Peristiwa ini dicatat oleh Syaikh Nūruddīn ar-Rānīrī dalam Bustan as-Salathin:
“Ialah yang mengadakan segala istiadat kerajaan Aceh Darussalam dan menyuruh utusan kepada Sultan Rum, ke negeri Istanbul, kerana meneguhkan agama Islam. Maka dikirim Sultan Rum daripada jenis utus dan pandai yang tahu menuang bedil. Maka pada zaman itulah dituang orang meriam yang besar.” (Iskandar, 1966: 31-32).
Ini Artinya:
- Turki Utsmani mengirim ahli militer
- Mengirim insinyur artileri
- Mengajarkan teknologi pengecoran meriam besar
Sejarawan modern mencatat bahwa sejak periode ini, daya tembak Aceh melonjak drastis, dan serangan Aceh terhadap Portugis menjadi jauh lebih serius dibanding sebelumnya.
Bukti 2: Bantuan Militer Nyata, Bukan Sekadar Doa
Catatan Eropa dan Utsmani menyebutkan bahwa Aceh menerima:
- Meriam besar bergaya Utsmani
- Senjata api
- Pelatihan militer
- Konsultan strategi perang laut
Bahkan armada Aceh pada akhir abad ke-16 sering disebut sebagai yang terkuat di Asia Tenggara, dan Portugis sendiri mengakui bahwa Aceh mendapat bantuan “Turks”.
Bukti 3: Pengakuan Resmi Aceh dalam Arsip Utsmani (Abad ke-19)
Memori hubungan ini tidak hilang. Pada abad ke-19, saat Aceh kembali terancam, kali ini oleh Kafir Kristen Belanda—Sultan Aceh ‘Ala’uddin Manshur Syah kembali menulis surat kepada Khalifah Utsmani. dan meminta kapal-kapal Turki untuk memerangi Belanda, selain itu beliau menyatakan sebuah ungkapan, yang ini t ini tersimpan dalam Başbakanlık Osmanlı Arşivi (BOA) dan berbunyi (lengkap):
وبعد تقبيل الأعتاب السامية التي هي ملجأ العفاة ومحل الكرم الذي ما خاب من اقتفاه فالمنهي إلى المسامع الكريمة والعواطف الرحيمة إننا معاشر سكان إقليم اشي بل وجميع سكان جزيرة سماطرا كلهم محسوبين من رعايا الدولة العلية العثمانية جيلا بعد جيل من مدة مولانا المرحوم السلطان سليم خان ابن المرحوم مولانا السلطان سليمان خان ابن المرحوم مولانا سلطان سليم أبي الفتوح خان عليهم من المولى الرحمة والرضوان وذلك مثبوتا في الدفاتر السلطانية
Setelah mengecup “Jenjang jenjang tangga yang tinggi” yang merupakan tempat perlindungan bagi para pencari kebaikan dan tempat kemurahan yang tidak akan kecewa orang yang mendatanginya, maka telah sampai kepada “Pendengaran yang mulia dan Perasaan yang penuh kasih sayang” bahwa sesungguhnya kami seluruh penduduk Negeri ACEH, bahkan seluruh penduduk Pulau SUMATERA tergolong sebagai rakyatnya Negara Adidaya Utsmaniyyah, dari generasi ke generasi semenjak zaman Tuan kami al-Marhum Sultan Selim Khăn anak al-Marhum Tuan kami Sultān Süleyman Khăn anak al-Marhum Tuan kami Sultān Selim Abù al-Futüh Khān, semoga terlimpah rahmat dan ridha Allah atas mereka semuanya.
Dan itu telah tercantum dalam arsip kesultanan (BOA. I.HR, 73/3511).
Menurut Sultan Manshur Syah, bahwa seluruh penduduk Aceh atau bahkan seluruh penduduk pulau Sumatera “tergolong sebagai rakyatnya Negara Adidaya Utsmaniyyah dari generasi ke generasi” (kulluhum mahsubina min riayà al-Daulah al’Aliyyah al-Usmaniyyah jilan ba’da jil). dan menyebutkan bahwa hubungan antara Khilafah dengan Aceh sudah terjalin dari masa leluhur leluhur Sultan Manshur Syah.
Penutup: Jakarta Hari Ini, Istanbul Dulu
Hari ini Aceh meminta bantuan ke Jakarta karena Jakarta adalah pusat kekuasaan negara.
Dulu, Aceh meminta bantuan ke Istanbul karena Istanbul adalah pusat kekuasaan dunia Islam. Meskipun Aceh dan Sumatera mengakui diri sebagai rakyatnya Daulah Khilafah, namun secara resmi Khilafah Turki Ustmani menolak mereka menjadi bagian Khilafah atas berbagai pertimbangan seperti jauhnya jarak dengan pusat ibu kota.
Ini jelas membuktikan bagaimana umat Islam di Nusantara punya hubungan sangat erat dengan pusat kekuasaan Islam.
Bahkan berdasarkan pengakuan Buya Hamka, dulu masjid masjid disana senantiasa memuji dan mendoakan Khilafah di Turki untuk senantiasa berdiri dan kokoh.
*Tulisan ini disari rangkum dari mas Niko Pandawa
(fb Ngopidiyyah)
*Menurut Google AI











Komentar