Mungkin hari ini kita perlu membuka kelas kecil di Istana. Karena rupanya, di negeri berdaulat ini, masih ada yang percaya bahwa kelapa sawit sama saja dengan pohon. Bahwa hilangnya hutan primer bukan masalah besar selama batang-batang hijau pengganti masih bisa tumbuh dan berbaris rapi. Seolah-olah alam ini hanya persoalan hitung batang: ditebang seribu, ditanam seribu kembali, dan negara aman sentosa. Betapa sederhananya dunia jika urusan lingkungan semudah menukar hutan hujan tropis dengan kebun monokultur.
Berikut ini video pernyataan Prabowo yang menyamakan sawit dengan pohon pada umumnya, sehingga menuai kontra dari hampir semua aktivis lingkungan
Padahal semua orang tahu, pohon bukan sekadar batang hidup yang tegak berdiri. Ia rumah raksasa bagi ekosistem, penyaring udara paling kuno dan paling canggih yang pernah dimiliki bumi. Pohon menjaga air meresap, menyimpan karbon, menahan lahan agar tak longsor. Sementara sawit? Ia tamu baru yang rakus ruang, hidup subur setelah hutan asli digusur habis. Sawit tumbuh, tapi biodiversitas mati. Sawit hijau, tapi tanah di bawahnya kering dan miskin. Jika itu definisi pohon versi pemerintah, maka kita harus segera meninjau ulang pelajaran biologi SD.
Maka ketika kepala negara tanpa ragu mengucap “sawit juga pohon”, publik wajar heran. Bukan karena kita anti industri, tapi karena kita masih harus hidup berdampingan dengan bencana yang datang saban musim. Abrasi pesisir yang makin menggerus kampung nelayan, tanah longsor yang menelan desa dalam hitungan menit, banjir bandang yang melarutkan rumah dan masa depan. Semua terjadi bukan karena hujan turun lebih deras, tapi karena akar-akar besar yang dulu memeluk tanah kini tinggal cerita dalam kliping koran.
Lucunya, pemerintah seolah menganggap persoalan ini hanya perkara narasi negatif. Seolah publik terlalu sensitif, dan hutan hanya perlu sedikit reposisi diksi. Tapi alam tidak bisa dibuat tunduk oleh pidato. Sungai tidak berhenti meluap hanya karena kita menyebut sawit sebagai pohon. Longsor tidak berhenti berguguran hanya karena ada pernyataan optimis dari podium.
Jika sawit benar dianggap pohon setara hutan, maka mari kita tunggu musim hujan berikutnya. Mungkin air akan tunduk pada kata-kata. Mungkin tanah akan setia tak bergerak. Atau mungkin, seperti biasa, rakyat lagi-lagi yang menanggung pelajaran paling pahit. Karena sebagian pejabat tinggi kita tampaknya masih perlu diajari membedakan batang kayu dengan penyangga kehidupan.







Komentar