Di acara talkshow iNews TV waktu itu menjadi saksi kecaman keras terhadap dunia akademik Indonesia. Dari mulut seorang mantan pejabat, Ichsanuddin Noorsy, muncul pernyataan yang membuat publik terperanjat. Ia mengatakan bahwa gelar profesor bisa dibeli. Angkanya disebut tidak tanggung-tanggung, berkisar antara Rp 1 sampai Rp 2 miliar. Ucapan itu dilontarkan di hadapan Wakil Menteri bidang Pendidikan Tinggi dan Sains, Stella Christie, sebuah panggung yang membuat atmosfer studio seketika terasa tegang.
Jika benar, pernyataan tersebut ibarat pukulan telak bagi marwah pendidikan tinggi. Gelar profesor selama ini dianggap puncak prestasi ilmiah, buah perjalanan panjang dalam riset, publikasi serta pengabdian akademik. Namun tudingan bahwa gelar semahal itu bisa diperdagangkan membuat banyak orang mempertanyakan apa arti integritas akademik hari ini.
Beberapa kampus di Jawa Timur sudah lama disorot dalam dugaan praktik serupa. Seorang dosen berinisial R pernah menyebut adanya sindikat yang menawarkan jalan pintas menuju guru besar. Nominalnya sekitar Rp 200 sampai 300 juta, belum termasuk biaya tambahan untuk memenuhi kewajiban publikasi ilmiah dan persyaratan administratif lainnya. Untuk satu artikel jurnal internasional yang digunakan sebagai syarat kenaikan jabatan, tarifnya bisa berkisar Rp 25 sampai 75 juta per tulisan. Semakin dikenal jurnalnya, semakin tinggi harganya.
Reaksi publik tidak kecil. Aliansi Akademisi Indonesia Peduli Integritas Akademik yang beranggotakan lebih dari seribu akademisi menyerukan agar sistem kenaikan jabatan dipantau lebih ketat. Mereka menolak kampus berubah menjadi pasar gelap gelar akademik. Di Sumatera Utara salah seorang guru besar mengaku miris melihat jabatan tertinggi di kampus kini terancam menjadi komoditas. Ia menilai, jika ini dibiarkan, maka nilai ilmu pengetahuan akan runtuh pelan-pelan.
Mereka mempertanyakan ulang arah dunia pendidikan. Bila profesor bisa dicapai dengan transfer dana, lalu apa arti dedikasi puluhan tahun dalam riset dan pengajaran? Apa nilai kerja keras para ilmuwan yang setia memproduksi ilmu pengetahuan bagi bangsa?
Pernyataan Ichsanuddin Noorsy memang belum terbukti secara hukum, namun fakta yang beredar menunjukkan gejala benarnya. Dugaan pungutan dalam proses guru besar, permainan jurnal predator dan sistem asesmen yang longgar menjadi celah yang dimanfaatkan pihak tertentu. Di titik inilah kepercayaan publik mulai rapuh.
Pertanyaannya kini bukan lagi apakah gelar profesor bisa diperjualbelikan, melainkan seberapa jauh kerusakan moral telah terjadi dan apakah bangsa ini bisa membersihkannya. Dunia akademik hanya akan kembali berdiri tegak jika transparansi diberlakukan, pengawasan diperketat dan integritas dijadikan pondasi utama. Tanpa itu, profesor hanya akan menjadi simbol kosong tanpa kehormatan, sementara ilmu pengetahuan kehilangan wibawanya di negeri sendiri.







Komentar