Whoosh merugikan negara tidak diproses hukum, sedangakan ASDP menguntungkan negara malah dipenjara

Whoosh merugikan negara tidak diproses hukum, sedangakan ASDP menguntungkan negara malah dipenjara


Eks Direktur Utama PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) Indonesia Ferry (Persero) Ira Puspadewi divonis 4,5 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan.

Vonis dibacakan dalam sidang Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (20/11/2025).

Majelis hakim menyatakan, Ira terbukti bersalah dalam kasus korupsi terkait proses kerja sama usaha (KSU) dan akuisisi PT Jembatan Nusantara (PT JN) tahun 2019-2022.

Walaupun dinyatakan bersalah, Majelis Hakim menyampaikan Ira tidak menerima sepeser pun uang korupsi. Namun Ira dinyatakan memperkaya pihak lain, dalam hal ini pemilik PT Jembatan Nusantara (PT JN).

Dalam nota pembelaan (pleidoi) yang dibacakan pekan sebelumnya, Eks Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry (Persero), Ira Puspadewi menyatakan dirinya bukan pelaku korupsi, melainkan korban kriminalisasi terhadap profesional Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Ira menjalani persidangan bersama dua mantan direksi ASDP lainnya, yakni Muhammad Yusuf Hadi dan Harry Muhammad Adhi Caksono. Ketiganya terjerat perkara dugaan korupsi akuisisi kapal milik PT Jembatan Nusantara (JN).

Dalam pembelaannya, Ira mengisahkan penahanannya bersama dua kolega sejak 13 Februari 2025, setelah ASDP melakukan akuisisi PT JN senilai Rp1,27 triliun. Mereka dituduh menyebabkan kerugian negara hingga Rp893 miliar, yang kemudian dinaikkan menjadi Rp1,25 triliun atau 98,5 persen dari nilai transaksi.

Menurutnya, hingga penahanan dilakukan, tidak pernah ada bukti korupsi yang ditunjukkan. Ia menyoroti laporan kerugian negara yang dibuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tiga bulan setelah penahanan, tanpa dasar lembaga audit resmi seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

“Laporan itu bukan dari BPK atau BPKP namun dari KPK sendiri tanggal 28 Mei 2025, atau tiga bulan setelah penahanan. Lalu apa dasar menahan saya selama ini?,” ungkapnya.

Ira juga mengutip keterangan saksi ahli dari BPK yang menegaskan akuisisi telah dilakukan sesuai ketentuan.

Ira pun menilai, perhitungan kerugian tersebut tidak sah karena dilakukan oleh auditor internal dan dosen konstruksi perkapalan tanpa sertifikasi penilai publik. Nilai kapal JN, lanjutnya, justru dihitung berdasarkan harga besi tua, padahal sebagian besar kapal masih layak berlayar dan produktif.

Sebagai contoh, paparnya, kapal Royal Nusantara berbobot 6.000 GT yang memiliki valuasi Rp121 miliar hanya dinilai Rp12,4 miliar. Padahal kapal tersebut masih beroperasi dan berkontribusi terhadap pendapatan perusahaan.

“Kapal Royal Nusantara ini 24 meter lebih panjang dari lapangan bola dan dapat memuat ratusan kendaraan. Apakah mungkin pemilik JN bersedia menjual saham perusahaan bila kapal-kapalnya dinilai dengan harga scrap atau besi tua kiloan, padahal kapal-kapalnya laik laut dan menghasilkan pendapatan,” beber Ira.

Akuisisi Menguntungkan, Bukan Merugikan Negara

Dalam sidang itu, Ira menjelaskan bahwa akuisisi PT JN justru memberi nilai tambah bagi ASDP dan negara. Ia menyebut perusahaan memperoleh 53 kapal komersial berikut izin operasional dengan total aset Rp2,09 triliun, sedangkan harga akuisisinya hanya Rp1,27 triliun

“Dengan akuisisi ini, ASDP mendapat perusahaan utuh yang aset kapalnya saja bernilai Rp 2,092 triliun, namun perusahaan ini bisa dibeli seharga Rp 1,272 triliun atau hanya 60 persen dari nilai kapal. Secara nominal pun ASDP dan negara untung dari akuisisi ini,” tegasnya.

Ira menambahkan, langkah strategis ini penting untuk menjaga keberlanjutan layanan penyeberangan di wilayah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal), yang sebagian besar bersifat perintis dan bergantung pada subsidi lintas dari kegiatan komersial.

Tolak Tuduhan Persekongkolan dan Perubahan Aturan

Menanggapi tudingan adanya persekongkolan dengan pihak JN, Ira membantah keras. Ia menyebut seluruh proses akuisisi dilakukan sesuai tata kelola perusahaan yang baik (GCG).

“Saya sulit berkata-kata ketika ada yang tega menarasikan seolah-olah saya korupsi memperkaya orang lain. Apakah ada orang yang memperkaya orang lain namun tidak memperkaya diri sendiri di dunia ini?,” katanya.

Ia juga menjelaskan, biaya operasional dalam kerja sama usaha (KSU) dengan JN tidak menggunakan dana ASDP, melainkan dari hasil penjualan tiket JN sendiri.

“Biaya operasi JN dibayar dari hasil penjualan tiket JN sendiri yang memakai sistem milik ASDP. Fasilitas Ecopay bank dipakai sebagai dana talangan dua bulan. Sisa usaha dibagi ASDP-JN. Kedua pihak pun diuntungkan dalam kerja sama ini sebagaimana prinsip kerja sama apa pun dalam bisnis,” ujarnya.

Paparkan Capaian dan Transformasi ASDP

Dalam kesempatan yang sama, Ira memaparkan berbagai terobosan selama masa kepemimpinannya di ASDP, seperti digitalisasi layanan, peningkatan efisiensi, dan kemampuan perusahaan mencetak laba di tengah pandemi Covid-19.

ASDP disebut menjadi satu-satunya BUMN transportasi yang tetap mencatat keuntungan saat pandemi, bahkan meraih kinerja terbaik sepanjang sejarah pada 2023 setelah akuisisi JN.

“Terobosan itu terjadi karena saya didampingi tim kompeten dan memiliki filosofi kerja “for the best interest of the company”, melakukan semua untuk kepentingan terbaik perusahaan,” tegasnya.

Menutup pleidoinya, Ira menyerukan agar praktik kriminalisasi terhadap profesional BUMN dihentikan. Ia menilai, banyak kasus serupa menimpa pimpinan perusahaan negara dan pejabat negara seperti RJ Lino di Pelindo, Nur Pamudji di PLN, Karen Agustiawan di Pertamina, Hotasi Nababan di Merpati hingga Tom Lembong di Kementerian Perdagangan.

“Saya tidak korupsi mengambil uang sepeser pun dalam akuisisi ini. Sampai sekarang juga tidak ada seorang pun yang sudah terbukti diperkaya karenanya,” imbuhnya.

“Saya percaya kebeningan hati nurani Majelis Hakim akan mengantarkan kami pada keadilan dan kebenaran yang sebenar-benarnya,” pungkasnya.

Dissenting opinion

Vonis 4,5 tahun penjara terhadap Ira ternyata tidak bulat keputusan seluruh majelis hakim yang menyidangkan perkara ini.

Salah satu hakim yang juga ketua majelis hakim, Sunoto, menyampaikan dissenting opinion bahwa keputusan para terdakwa adalah keputusan bisnis yang dilindungi business judgement rule sehingga seharusnya lepas dari tuntutan hukum.

Ketua Majelis Hakim Sunoto menyatakan bahwa seharusnya eks Dirut PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) Ira Puspadewi dan beberapa orang divonis onslag atau bebas dalam perkara korupsi akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN).

Hal tersebut diungkap Sunoto dalam dissenting opinion saat memutus perkara Ira Puspadewi.

Menurut Sunoto bahwa tindakan akuisisi PT JN oleh ASDP itu tidak sepenuhnya meyakinkan merupakan tindak pidana korupsi.

“Para terdakwa [Ira Puspadewi] seharusnya dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum atau ontslag,” ujar Sunoto di ruang sidang PN Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (20/11/2025).

Dia menambahkan jika perangkat hukum mempidanakan Ira Puspadewi dan terdakwa lain bakal menimbulkan dampak negatif bagi dunia usaha Indonesia, khususnya BUMN.

Pasalnya, kata dia, dengan adanya proses pidana ini menjadikan jajaran direksi perusahaan akan takut mengambil keputusan bisnis yang berisiko. Pasalnya, berpotensi untuk dikriminalisasi.

“Profesional-profesional terbaik akan berpikir berkali-kali untuk menerima posisi pimpinan di BUMN karena khawatir setiap keputusan bisnis yang tidak optimal dapat dikriminalisasi,” imbuhnya.

Oleh sebab itu, dia memandang bahwa keputusan Ira dkk untuk mengakuisisi PT Jembatan Nusantara (PT JN) bukan merupakan perbuatan pidana. Namun, proses akuisisi itu lebih kepada keputusan bisnis yang dilindungi oleh aturan Business Judgment.

“Bahwa oleh karena itu perbuatan para terdakwa terbukti dilakukan tapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana karena keputusan bisnis yang dilindungi oleh business judgement rule,” pungkasnya.

________________________________

Ira divonis 4,5 tahun dengan denda Rp500 juta. Sementara itu, mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP, Harry Muhammad Adhi Caksono, dan eks Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP, Muhammad Yusuf Hadi divonis 4 tahun dan denda Rp250 juta.

Komentar