Warga Korban Banjir Jarah Minimarket dan Bulog, Ini Hukumnya Menurut Islam

𝐊𝐞𝐭𝐢𝐤𝐚 𝐑𝐚𝐤𝐲𝐚𝐭 𝐌𝐞𝐧𝐣𝐚𝐫𝐚𝐡

✍🏻Arsyad Syahrial

Beredar berita rakyat di beberapa wilayah di Sumatera yang kelaparan karena terdampak banjir bandang menjarah minimarket, maka itu TIDAK BISA langsung disapu dengan satu vonis: kriminal.

Kenapa…?

Karena Syariat Islam memang memberi ruang bagi orang yang benar-benar terancam nyawanya (ḍorūroh) akibat bencana (ḥājah nāzilah) untuk mengambil makanan dari orang lain sekadar bertahan hidup, yang mana itu setelah meminta bantuan tetapi ditolak atau bantuan tidak ada, atau ketika tak ada lagi pihak yang bisa dimintai izin.

Jadi hukum asalnya BUKAN “penjarahan diperbolehkan”, melainkan darurat yang dibenarkan sebatas kadar bertahan hidup — tidak lebih.

Di dalam fiqih empat mazhab, para Ulama fuqoha menempatkan kelaparan ekstrem sebagai keadaan yang menghapus sifat kriminal perbuatan dari pengambilan makanan tanpa izin. Mereka menyatakan bahwa pemilik makanan pada kondisi seperti itu WAJIB untuk membantu. Sedangkan apabila si pemilik makanan itu menolak, maka orang yang terdesak boleh mengambil makanan secukupnya tanpa terkena ḥadd / Pidana Syariah (dar-ul-ḥudūdi biṡ-ṡubhāt). Pengambilan makanan dalam kondisi darurat itu disebut oleh sebagian Ulama fuqoha sebagai “aḳżun bi ḥaqqih”, bukan sariqoh (pencurian).

Namun semua Ulama fuqoha sepakat bahwa kewajiban mengganti tetap melekat ketika situasi sudah membaik.

Jadi yang digugurkan hanyalah hukuman Pidana Syariat, bukan hak kepemilikan, sehingga tetap wajib mengganti apa yang diambil karena perkara harta bukanlah perkara yang remeh (ḥurmatul-amwāl ka ḥurmatid-dimā’).

Namun masalahnya, penjarahan minimarket biasanya jauh melewati batas darurat. Orang mengambil barang bukan sekedar untuk menyelamatkan hidup, akan tetapi memanfaatkan kekacauan yang terjadi — membawa pulang apa saja yang bernilai yang tak terkait dengan bertahan hidup, bahkan merusak toko. Ini sudah berubah dari ḥaqqud-ḍarūroh (hak kedaruratan) menjadi tindakan ḥirōbah (begal), karena ada unsur perusakan, pengambilan berlebihan, dan hilangnya niyyah penyelamatan diri.

Syariat tidak memberikan toleransi untuk kerakusan yang dibungkus alibi kelaparan.

Karena itu, ketika ada rakyat yang kelaparan sampai ke titik mengancam jiwa, maka Negara wajib hadir dan memberi makan sebelum rakyat dipaksa nekat (taṣorrufu al-imāmi manūṭun bi al-maṣlaḥah). Akan tetapi apabila mayoritas yang menjarah melampaui batas Syariah, maka penyelesaian harus tegas: bantu yang memang darurat, dan tegakkan hukum pada yang menjadikan kekacauan sebagai kesempatan untuk membegal.

Syariat tidak mentolerir kezoliman, baik itu kezoliman massa yang menjadikan kelaparan sebagai dalih merampas hak orang lain, apalagi kezoliman penguasa yang membiarkan rakyat kelaparan.

(*)

Komentar