UNTUK MAS MENTERI KEHUTANAN

UNTUK MAS MENTERI KEHUTANAN

✍🏻Ruly Achdiat Santabrata

Mas Menteri pasti sering dengar hutan habis karena sawit, lalu langsung menyalahkan masyarakat adat atau petani kecil yang jual tanah leluhur. Tapi coba kita lihat lebih dalam, siapa sebenarnya yang paling bertanggung jawab?

Masyarakat memang menjual tanahnya. Tapi kenapa mereka sampai hati melakukan itu?

  • Harga sawit tinggi, tawaran uang tunai langsung bisa ratusan juta sampai miliaran per hektare → sangat menggiurkan bagi yang hidup miskin.
  • Banyak yang tidak punya sertifikat tanah resmi, jadi merasa “kalau tidak dijual sekarang, nanti direbut perusahaan atau negara juga”.
  • Tidak ada lagi skema plasma* yang menguntungkan seperti era Soeharto, jadi satu-satunya cara cepat kaya ya jual tanah ke perusahaan atau tengkulak.
  • Generasi muda sering tidak mau lagi mengelola hutan secara tradisional (mahal, lama, hasilnya kecil), lebih pilih uang cash untuk beli motor, bangun rumah, atau biaya sekolah anak.

*Skema plasma sawit adalah pola kemitraan antara perusahaan inti (perkebunan besar) dengan petani plasma (masyarakat lokal) untuk mengelola perkebunan kelapa sawit. Dalam skema ini, perusahaan berperan sebagai “inti” yang memberikan dukungan teknis, modal, dan membeli hasil panen, sementara petani plasma memiliki dan mengelola kebun mereka sendiri, yang bisa merupakan lahan mereka sendiri atau lahan yang difasilitasi oleh perusahaan. 

Lalu pemerintah di mana?

  • Era SBY (UU 18/2004 + PP 44/2004): mulai boleh bangun pabrik dulu baru urus plasma belakangan → banyak perusahaan kabur dari kewajiban plasma.
  • Era Jokowi (Permentan 98/2013 diubah jadi Permentan 18/2021 + Omnibus Law/UU Cipta Kerja):
  1. Plasma tidak lagi wajib 20% kebun, bisa diganti “program pemberdayaan” lain (sarpras, pelatihan, dll) yang sering fiktif.
  2. Fasilitasi plasma bisa dilakukan di kabupaten lain (bukan di sekitar kebun inti), jadi masyarakat lokal tetap tidak dapat apa-apa.
  3. Izin lokasi dan HGU diberikan sangat cepat, kadang tumpang tindih dengan kawasan hutan, tanpa verifikasi lapangan yang ketat.
  4. Pengawasan lemah: ribuan kasus sawit ilegal di kawasan hutan (data KLHK 2024: 3,3 juta ha sawit di kawasan hutan), tapi yang ditindak hanya ratusan hektare.
  5. Banyak pejabat daerah malah “membantu” perusahaan dengan menerbitkan surat keterangan tanah (SKT) atau surat keterangan ganti rugi (SKGR) palsu atas nama masyarakat adat, padahal itu hanya modus.

Jadi masyarakat seperti tak punya pilihan. Sistem ekonomi dan regulasi memang mendorong mereka ke sana. Mereka terdesak, tergiur, dan tidak diberi alternatif yang layak.

Yang paling besar tanggung jawabnya tetap pemerintah dan pengambil kebijakan yang membuka keran selebar-lebarnya tanpa pengawasan ketat, sementara keuntungan triliunan mengalir ke segelintir korporasi besar. Belum lagi yang ilegal. Banyak Mas Menteri.

Petani kecil dan masyarakat adat bukan penjahat utama. Mereka korban sekaligus pelaku dalam sistem yang sudah salah dari awal.

Kalau Mas Menteri ingin evaluasi, kita minta regulasi yang adil, pengawasan yang tegas, dan skema plasma yang benar-benar menguntungkan rakyat kecil. Hutan kita masih bisa diselamatkan kalau kita mau jujur melihat akar masalahnya.

Selamatkan bumi, selamatkan masa depan anak cucu kita.

Demikian Mas Menteri sebagai bahan evaluasi. Atau tanya senior anda mantan MenHut yang masih kolega anda di kabinet. Bisa?

(*)

Komentar