Ulil Tak Pernah (Merasa) Salah
Oleh: Kang Irvan Noviandana
Ketika banjir bandang disejumlah daerah menerjang, masyarakat mempertanyakan penyebab utama yang paling relevan, yaitu deforestasi, pembalakan liar, dan masalah izin tambang yang timpang.
Ketika masyarakat fokus pada kritik soal tambang, Ulil Abshar Abdalla justru membelokkan narasi. Alih-alih menanggapi isu kerusakan hutan, dia malah menghadirkan narasi yang sebenernya tidak pernah diajukan oleh siapapun, yaitu “zero mining” (TIDAK ADA PENAMBANGAN SAMA SEKALI).
Padahal tidak ada satu pun dari pihak yang kontra, baik Iqbal Damanik, publik, maupun Greenpeacs yang mendesak gagasan “zero mining total”. Fokus Greenpeace dalam situsnya jelas menjaga hutan, menekan kerusakan, dan menghentikan praktik industri ekstraktif yang merusak ekosistem. Tidak lebih. Tidak kurang.
Tapi bagi Ulil, itu tidak cukup rumit. Ia membutuhkan “musuh” yang lebih mudah dipukul, maka diciptakanlah narasi bahwa lawannya menolak semua tambang secara absolut.
Itulah gaya Ulil, melakukan logical fallacy yaitu menciptakan narasi palsu alias strawmannya.
Inilah taktik licik yang sayangnya sudah terlalu sering dipakai Ulil:
Ambil kritik lawan “Tambang merusak hutan dan menyebabkan risiko bencana.”
Diubah menjadi ekstrem “Jadi kamu mau semua tambang ditutup?”
Serang versi ekstrem itu “Pandangan itu tidak realistis, itu wahabisme lingkungan.”
Hasilnya dimata pengikutnya Ulil seolah tampak rasional, moderat, melandasi argumen dengan kemaslahatan nasional. Padahal dia tidak sedang menjawab kritik, tetapi menghindarinya. Dia tidak menyinggung isu utama, bahwa deforestasi dan kerusakan ekologis adalah kenyataan yang dilihat langsung oleh warga yang rumahnya terbawa arus.
Dia mengalihkan perdebatan dari fakta di lapangan menuju abstraksi yang aman yang tampak seolah-olah benar dimata pengikutnya
Pola lama Ulil tak pernah (merasa) salah, sejak awal 2000-an, setiap kali gagasan Ulil dikritik, mulai dari isu agama, sekularisme, toleransi, sampai soal tambang, dia jarang sekali berada pada posisi merevisi pernyataannya.
Yang terjadi selalu, lawan dianggap tidak paham, lawan disederhanakan, konteks digeser, dan Ulil menempati posisi moral yang sempurna dalam narasi yang dia buat sendiri.
Seakan-akan dalam dua dekade lebih Ulil tidak pernah merasa berada dalam posisi keliru, alias tidak pernah merasa salah.
Bagi yang telah mengenal sepak terjangnya gaya khas Ulil memang seperti itu, dia tidak pernah benar-benar salah, setidaknya menurut dirinya sendiri 😂
Tetapi realita di luar sana publik punya pandangan lain tentang dirinya.
(*)







Komentar