Seorang bapak merekam dirinya dengan tangan yang sedikit bergetar. Wajahnya tampak letih, namun bukan lelah karena pekerjaan—melainkan lelah menahan beban hidup karena bencana. Di tangannya, ia menggenggam tiga bungkus mie instan tiga benda sederhana yang akhirnya membuatnya harus meminta maaf kepada dunia.
“Saya tidak ada niat berbuat begitu, saya cuma terpaksa. Tidak ada makanan lagi di rumah. Tidak ada uang. Tidak ada bantuan sama sekali,” ujarnya pelan.
Suaranya pecah, seperti seseorang yang sudah berusaha sekuat tenaga untuk tetap kuat, namun akhirnya kalah oleh kenyataan.
Saat sebagian orang berdesakan menjarah minimarket, ia justru merasa bersalah hanya karena mengambil tiga bungkus mie, sebotol air mineral, dan sedikit snack untuk anaknya. Di tengah kekacauan, ia masih memikirkan kejujuran. Ia masih memikirkan bagaimana caranya mengembalikan apa yang ia ambil, seakan itu adalah hutang besar yang menusuk hatinya.
Bukan besar barangnya yang menyayat—melainkan besarnya beban yang ia tanggung.
Ia tidak menyalahkan keadaan.
Ia tidak menyalahkan siapa pun.
Yang ia lakukan hanyalah menunduk, memohon maaf, dan berjanji:
“Kalau saya sudah punya rezeki … saya pasti kembali ke toko itu untuk bayar semuanya.”
Sederhana. Jujur. Menyentuh.
Di tengah hiruk pikuk orang-orang yang menjaarah tanpa berpikir, ada seorang ayah yang merasa bersalah hanya karena mencoba membuat anaknya tetap bisa makan hari itu. Dan mungkin, justru dialah yang paling menjaga nilai kemanusiaan.
Semoga kejujuranmu berbalas kemudahan dan kelancaran rizkimu, Pak. Syukur syukur pemilik toko itu mengikhlaskan atau bahkan datang membantumu.







Komentar