TENGKESYAB TOGETHER (TERKEJUT BERSAMA)

✍️Made Supriatma

Mungkin Sodara masih ingat, ada satu masa ketika para pejabat Indonesia memiliki karakter pemarah. Atau, tepatnya, marah sebagai cara memerintah. Mereka tidak marah kepada rakyat atau masyarakat. Biasanya mereka marah kepada bawahannya.

Ini semua agaknya diawali oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok ketika menjadi gubernur Jakarta. Ia memakai marah-marahnya sebagai cara memerintah. Para birokrat takut karena selalu ada kamera TV saaat Ahok memarahi mereka. Kalau gubernur sudah bertanya ini dan itu, atau dia menemukan sesuatu yang dirasakannya tidak beres, bersiaplah menerima semprotan di hadapan publik.

Media sosial kemudian memperkuat kesan pejabat yang memerintah dengan tegas lewat marah-marah. Media massa biasa pun ikut-ikutan. Biasanya dengan judul yang bombastis, “Jokowi murka!” Tentu saja kemudian muncul kesan, pemimpin tegas, satset, batbet … ngamukan! Pemarah menjadi simbol pejabat.

Itu tidak lama berlalu. Sejak tahun kemarin, Indonesia berganti rejim. Kali ini yang memerintah adalah seorang jendral. Tegas, keras, teruji di medan palagan, katanya. Indonesia akan jadi macan asia. Negara maju yang disegani (kalau bisa sih, ditakuti) oleh negara-negara tetangga. Sebuah ‘super power di tingkat regional. Itu cita-citanya.

Namun ternyata pemimpinnya tidak sesinga yang dibayangkan. Ternyata tidak galak sama korupsi sama sekali. Bahkan program-programnya berbau bancakan. Nah! Para elit nasional lokal, besar kecil, gendut langsing, lansung membaca itu. Oh, jadi cuman segini? Oh, ternyata gak galak ya? Oh, gak tegas ya? Oh, takut juga rupanya sama sesama elit.

Untuk beberapa saat, kita melihat “flexing” sebagai gaya memerintah. Ini pemerintahan yang fashionable. Ini pemerintahan dari orang-orang yang punya hak-hak istimewa (privileges). Semua pejabat minta diutamakan. Kalau tidak diutamakan atau bahkan merasa diremehkan, ngamuk! Nggak hilang gaya ngamuknya tapi kali ini tidak diarahkan pada bawahan atau staf-nya tapi kepada rakyat. Masih ingat Sahroni bilang tolol ke orang yang mengkritik DPR dibubarin aja?

Kemudian datang arus balik. Protes dimana-mana. Di Pati, bupati songong pilihan mereka, menantang rakyatnya sendiri karena menaikkan pajak PBB 250%. Silahkan demo, tantangnya. 5 ribu atau 50 ribu, saya nggak takut. Ketika beneran di demo, ngeper juga dia. Dan akhirnya mencabut kebijakannya itu.

Arus balik berupa demonstrasi anti elit ini rupanya cukup membuat keder banyak (hampir semua sih) pejabat yang songong. Di jalanan kini mereka nggak “tot, tot, wuk, wuk” lagi. Tapi kita tidak tahu akan sampai berapa lama ini akan berlangsung. Karena “tot, tot, wuk, wuk” pada dasarnya hanyalah symptom. Dan kita tahu, penyakitnya yaitu kemahasongongan para pejabat ini adalah abadi. Kekuasaan itu harus ditunjukkan, dipamerkan, dibikin menakutkan. Iya kan? “Lebih baik ditakuti ketimbang dicintai,” demikian nasehat Nicollo Machiavelli kepada Sang Pangeran.

Nah, setelah arus balik ini ada juga trend baru. Pejabat rame-rame terkejut. Seolah bidadari turun dari Kayangan ke Jakarta, dan terjebak macet. Terkejut. Karena konon di Kayangan tidak ada macet. Menteri Keuangan terkejut ketika diberitahu cukai itu 57% dari harga rokok.

Kayaknya terkejut ini akan menjadi modus memerintah selama beberapa waktu ke depan. Di tanah kelahiran saya, Bali, yerkejut ini juga sudah menjadi moda. Tengkesyab, itu adalah kata bahasa Bali untuk terkejut. Gubernur Bali terkejut ketika tahu bahwa 42 ribu hektar hutan di wilayahnya hilang dan beralih fungsi.

Mungkin dia terkejut juga kalau tahu bahwa tebing-tebing sungai yang seharusnya hijau itu sekarang ditumbuhi vila-vila. Wong-wong samar (mahluk halus yang menyerupai manusia) tergusur dari tempatnya. Digantikan wong-wong toris yang kaya raya.

Anggota–angota DPRD Bali tengkesyab karena mendapati ternyata di Mall Galeria (salah satu yang terbesar dan tertua di Denpasar) ada sungai didalamnya. Ini membuat saya terkejut karena mereka terkejut. Bukannya setiap minggu atau mungkin beberapa kali seminggu mereka pergi kesana?

Terus, anggota-anggota DPRD ini kabarnya terkejut karena ada bangunan konstruksi di tengah tahura Mangrove dekat bandara Ngurah Rai. Pemiliknya adalah orang Rusia. Kok bisa, kata mereka seraya terkaget-kaget dan bersyukur jantungnya copot atau berhenti berdetak

Para pejabat dan anggota-anggota dewan ini, mungkin akan terberak-berak di celana karena kaget, kalau tahu bahwa di Bali sudah ada Kampung Rusia. Bahwa orang-orang Rusia atau orang-orang asing lainnya sudah membeli tanah, membangun rumah dan vila, membuka bisnis, dimana-mana. Semua orang tahu. Kecuali pejabat, yang mengeluarkan ijin dan menerima “cuk,” tentu saja!

Orang-orang Rusia (dan Ukraina sebenarnya tapi kita sulit membedakannya karena mereka berbahasa sama dan rupanya sama) ada dimana-mana. Berbulan lalu, saya jalan kaki di daerah Berawa, Canggu. Saya melihat ada mobil Avanza berhenti. Pengemudinya seorang perempuan Kaukasian, membuka bagasi mobil, mengeluarkan bunga-bunga.

Rupanya dia drop bunga ke toko bunga dekat situ. Saya penasaran. Saya masuk ke toko bunga itu, pura-pura mencari bunga, dan bicara kepada pemiliknya. Jadi, supplier-nya bule? Iya, Pak, katanya. Dia punya kebun di sekitar Bedugul sana.

Dalam satu acara di sebuah yayasan, saya berjumpa dengan mitra-mitra yayasan tersebut. Banyak cerita tentang keterlibatan orang-orang asing (khususnya Eropa Timur) dalam ekonomi. Mereka senang terong, Pak. Dulu beli di supermarket, terus di pasar. Sekarang mereka langsung beli ke petani. Mereka tahu harga yang murah. Apakah mereka beli lebih mahal dari pengepul lokal? Ya nggaklah, kata seorang petani. Mereka tahu harga.

Seorang kawan asing juga cerita ke saya soal menyewa motor atau mobil. Dia dapat sewa lewat sebuah website. Kemudian dia baru tahu bahwa website itu dikontrol dari St. Petersburg. Tidak terima credit card, tapi nanti akan ada orang lokal yang menagih bayarannya.

Apakah itu salah? Terus terang, saya tidak tahu. Saya belum tahu dampak ekonomi dari keterlibatan pemain-pemain asing ini terhadap ekonomi Bali khususnya karena mereka juga sekarang “penduduk” Bali.

Beberapa hari lalu, saya menelpon kawan saya yang sekarang bermukim Moskow. “Joey, why don’t you visit me in Bali? Lots of Russian are here right now,” kata saya. “Oh, sorry man,” katanya. “I have enough with the Russians,” (“Saya sudah muak dengan orang Rusia”) katanya. Dia adalah keturunan Yunani yang lahir dan besar di Georgia, mantan salah satu Republik Uni Sovyet. “I’ve heard Bali has become Balivostok,” katanya sambil ngakak.

Yah, mungkin. Balivostok. Баливосток. Tanpa Puskin. Tanpa Tolstoy. Tanpa Dostoevsky. Chekov. Gogol. Turgenev. Pasternak. Solzhenitsyn. Dan, semua penulis-penulis agung itu.

Dan. para pejabat-pejabat Bali yang mengeluarkan ijin, memberi perlindungan, dan mendapatkan “cuk” itu … hanya tengkesyab! Terkejut mereka. Barangkali sambil kencing dan berak di celana!

Kleeeee ….

(fb)

Komentar