SURIAH, ISRAEL, dan RUNTUHNYA ZIONISME

Jatuhnya rezim Bashar Assad di Suriah pada 8 Desember 2024 telah memicu perubahan besar dalam peta pengaruh dan geopolitik di seluruh Timur Tengah dan memicu perebutan kekuasaan yang kompleks di antara para aktor regional dan global yang berusaha mengamankan kepentingan strategis mereka di Suriah, utamanya kepentingan politik, ekonomi dan militer.

Sebelum jatuhnya rezim Assad, Rusia dan Iran serta proksinya (Hizbullah Lebanon, Popular Mobilization Forces Irak, milisi-milisi Syiah dari berbagai negara dan milisi Palestina di Suriah) merupakan aktor utama dalam konflik perang saudara di Suriah yang mendukung pemerintahan Assad. Sementara negara-negara lainnya seperti AS, Turki, Uni Eropa, Liga Arab yang mendukung oposisi Suriah mulai memudar peran dan pengaruhnya dengan dikuasainya berbagai wilayah kendali oposisi oleh militer rezim Assad dan sekutunya.

Namun, kejatuhan rezim Assad oleh kelompok oposisi Haiat Tahrir Sham (HTS) yang dianggap sebagai kelompok teroris oleh dunia internasional dan dimusuhi oleh semua aktor yang bermain di Suriah, telah melahirkan pemerintahan baru di Suriah dan mengubah seluruh peta aliansi di Suriah dan kawasan. Menariknya, pemerintahan baru di Suriah mendapatkan dukungan dari banyak pihak yang menilai bahwa “stabilitas di kawasan tergantung pada stabilitas Suriah”.

Israel, menurut think tank Alma Israel, Prioritas utama Israel di Suriah adalah mencegah kelompok Islam Sunni dan pasukan Turki membangun kekuatan yang dapat mengancam keamanannya. Skenario ancaman pada dasarnya melibatkan penggantian poros Syiah radikal dengan poros Sunni radikal. Israel curiga terhadap komitmen ideologis pemerintahan baru Suriah. Meskipun pemerintah Suriah dinilai telah mengambil posisi pragmatis untuk mendapatkan legitimasi internasional, kepemimpinannya dan banyak angkatan bersenjatanya berakar pada pandangan ekstremis.

Setelah jatuhnya Assad, Israel meningkatkan serangan udara dan operasi darat, terutama di Dataran Tinggi Golan dan Suriah selatan, untuk mencegah pemerintah baru tersebut merebut senjata rezim sebelumnya. Ini termasuk senjata kimia, sistem pertahanan udara canggih, senjata antipesawat, dan berbagai aset militer.

Dalam konteks pelaksanaan proyeknya untuk memecah Suriah menjadi beberapa negara kecil, Israel berupaya memprovokasi warga minoritas Druze di Suriah selatan dengan perang sektarian. Hal ini akan memungkinkan Israel untuk menghindari konsensus regional dan internasional yang menegaskan bahwa stabilitas dan integritas wilayah Suriah adalah bagian dari stabilitas kawasan.

Konsensus internasional ini merupakan pukulan bagi kalkulasi keamanan Israel dan kemunduran bagi proyek geopolitiknya, yang dirancang untuk mengubah lingkungan strategis di sekitar Israel secara permanen, khususnya dengan kondisi Suriah yang masih lemah, karena faktor-faktor pendukung tersebut tidak selalu ada. Karena kemungkinan kemampuan Suriah untuk mengatasi faktor-faktor ini dan memperbaiki kelemahannya akan membuat Israel menyesal telah melewatkan kesempatan bersejarah untuk memecah belah Suriah.

Israel mulai memandang aliansi dengan Druze di Suriah selatan sebagai cara strategis untuk melawan pasukan Sunni Islamis di dekat perbatasan Golan. Menyadari potensi ancaman terhadap minoritas di bawah pasukan pemerintah baru, yang menurut Israel memiliki ideologi ekstremis, dan memandang mereka sebagai kafir yang tidak berhak hidup, Israel telah memposisikan diri sebagai pelindung Druze di Suriah selatan. Melalui peluang ekonomi dan jaminan keamanan, Israel telah membangun aliansi dan memastikan kehadiran di sepanjang perbatasan utaranya di tengah kondisi yang belum stabil di Suriah.

Druze adalah minoritas etnoreligius berbahasa Arab yang tinggal di Suriah, Lebanon, Israel, dan Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel. Agama Druze merupakan cabang dari Islam Syiah dengan identitas dan keyakinannya yang unik dan ekslusif. Separuh dari sekitar satu juta pengikutnya tinggal di Suriah, sekitar 3% dari populasi Suriah. Druze di Israel sebagian besar dianggap loyal kepada negara, karena partisipasi mereka dalam dinas militer. Terdapat sekitar 152.000 Druze yang tinggal di Israel dan Dataran Tinggi Golan.

Prof. Muhammad Shanqity, mengatakan bahwa ada beberapa faktor kesamaan antara situasi ketika terjadinya perang salib dan proyek zionisme hari ini, dan faktor itu mungkin akan mengakhiri proyek zionis:

Pertama: pendudukan pasukan salib dan zionis Israel sama-sama menguasai wilayah geografis yang tidak luas, sangat kecil dibandingkan dengan wilayah yang dikuasai oleh negara-negara Arab.

Kedua: pendudukan pasukan salib dan zionis Israel sama-sama tidak memiliki kekuatan secara geografis dan demografis, karena mereka adalah pendatang, bukan penduduk asli.

Ketiga: faktor mereka masih bertahan adalah dukungan luar, bukan kekuatan mereka sendiri. Pasukan salib bertahan karena adanya dukungan berkelanjutan dari kerajaan-kerajaan Eropa, demikian juga zionis Israel, masih bertahan karena ada dukungan AS dan Barat.

“You can’t make war in the Middle East without Egypt and you can’t make peace without Syria” begitu kata Henry Kissinger, kalkulasi strategis Israel adalah menghilangkan Suriah sama sekali, karena mereka merasa sudah berhasil “menjamin” Mesir tidak akan terlibat lagi dalam perang dengan Israel, setidaknya hingga tahun 2027!

(Saief Alemdar)

Komentar