Soeharto Jadi Pahlawan Nasional, Rocky: Sejarah Dimanipulasi Lembaga Survei

Pemerintah akhirnya menetapkan Presiden kedua RI, Soeharto, sebagai Pahlawan Nasional pada 10 November 2025. Keputusan yang diresmikan lewat Keppres No. 116/TK/Tahun 2025 itu sontak memantik perdebatan luas, terutama di kalangan aktivis dan akademisi yang menganggap negara sedang bermain api dengan memori sejarahnya sendiri.

Video statement Rocky Gerung Mengenai Soeharto Jadi Pahlawan

Di satu sisi, Soeharto disebut berjasa membangun fondasi ekonomi nasional, menekan inflasi, dan membawa Indonesia ke masa swasembada pangan. Namun di sisi lain, ia juga diingat sebagai simbol rezim yang menutup ruang demokrasi, memenjarakan lawan politik, dan membungkam pers selama lebih dari tiga dekade kekuasaan.

Di tengah polemik itu, pengamat politik Rocky Gerung menilai bahwa nalar publik kita sedang dikepung oleh angka. Ia menyindir lembaga-lembaga survei yang, menurutnya, telah menjadi “kompas moral baru” bangsa—menggantikan kritik rasional dan kajian sejarah yang seharusnya menjadi dasar dalam menentukan siapa yang layak disebut pahlawan. “Sejarah telah dimanipulasi oleh survei,” ujarnya dalam sebuah potongan video yang beredar di media sosial.

Rocky mengacu pada hasil survei yang menyebut 80 persen publik setuju Soeharto diberi gelar Pahlawan Nasional. Angka yang tampak meyakinkan itu seolah menjadi justifikasi publik terhadap langkah pemerintah. Namun, bagi Rocky, demokrasi bukan tentang siapa yang paling banyak disukai, melainkan siapa yang paling jujur menghadapi sejarahnya. Ia mengingatkan, metodologi survei mudah disusupi kepentingan dan tak bisa menjadi dasar legitimasi moral sebuah keputusan negara.

Kritik itu bergaung di tengah memori kolektif bangsa yang belum tuntas dengan masa kelam Orde Baru. Kasus penculikan aktivis 1997–1998, pelanggaran HAM pasca-1965, hingga praktik korupsi dan nepotisme di lingkar kekuasaan, masih menjadi catatan panjang yang belum selesai. Banyak keluarga korban yang bahkan belum menemukan keadilan. Dalam situasi semacam ini, pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada sosok seperti Soeharto terasa seperti penutupan buku sejarah yang belum rampung ditulis.

Ironisnya, survei publik justru memperlihatkan mayoritas generasi muda menilai masa Orde Baru sebagai “era stabilitas dan pembangunan”. Sebagian karena narasi sejarah di sekolah yang terlalu ringkas, sebagian lagi karena media sosial yang membentuk nostalgia semu. Dalam ruang publik yang didominasi algoritma, wajar jika memori kolektif bangsa menjadi rapuh dan mudah digiring.

Rocky melihat fenomena ini sebagai gejala “penyusutan akal sehat demokrasi”—ketika angka dianggap lebih benar daripada kenyataan. Ia menilai lembaga survei kini lebih sibuk menjual persepsi ketimbang menjaga independensi. “Nalar kita dikalahkan oleh statistik,” sindirnya.

Maka, ketika survei dijadikan sandaran moral untuk menentukan pahlawan nasional, sesungguhnya bangsa ini sedang melakukan simplifikasi sejarahnya sendiri. Sejarah, yang mestinya menjadi ruang refleksi, berubah menjadi produk pasar opini. Dan di titik itu, gelar kepahlawanan kehilangan maknanya: bukan lagi penghormatan, melainkan kompromi.

Pada akhirnya, perdebatan tentang Soeharto bukan sekadar soal setuju atau tidak setuju. Ini tentang bagaimana bangsa menulis ingatannya. Apakah kita ingin diingat sebagai bangsa yang berani menatap masa lalunya dengan jujur, atau bangsa yang memilih menutup mata dan menyerah pada angka-angka survei?

Komentar