PERUSAHAAN BUNGKAM!! Air Mata Sawit PT Cipta Usaha Sejati (CUS) Kayong: Duka Mirawati Menampar Konglomerat Tomy Winata dan Aparat
–Luka Sunyi Kayong–
Di tanah hijau yang seharusnya penuh kehidupan, duka justru merayap. Mirawati (27), pekerja kebun sawit PT Cipta Usaha Sejati (CUS), pulang dalam diam. Tak ada senyum, tak ada cerita lelah seperti biasanya. Ia kembali ke rumah dalam peti jenazah, 6 September 2025, meninggalkan jejak tanya yang tak kunjung terjawab.
Jaitun, sang ibu, berdiri di ambang pintu rumah kayu di Pangkalan Buton, Kabupaten Kayong Utara Provinsi Kalimantan Barat. Tatapannya kosong, suaranya pecah.
“Ketika jenazah datang, polisi ada sampai pemakaman. Setelah itu… hilang. Tidak ada kejelasan,” lirihnya. Kata-kata itu menggantung di udara, lebih dingin dari hujan yang turun sore itu.
Jejak-Jejak Hilang
Barang-barang Mirawati raib seperti ditelan kabut dua ponsel, motor, laptop, dompet, tas. Semua lenyap. Seolah tak cukup nyawa yang diambil, jejaknya pun disapu bersih. Keluarga terperangah, antara marah dan tak percaya. “Kami minta keadilan ditegakkan. Polisi jangan main-main,” tegas Jaitun, matanya berkaca.
Di tengah kebingungan, perusahaan tempat Mirawati bekerja diam membisu. PT CUS, yang berdiri gagah di bawah bendera Artha Graha Group, tak memberi kabar, apalagi santunan.
“Uang duka pun tidak ada. Harusnya ada perhatian,” keluh Jaitun. Suaranya bergetar, namun tegas menantang dinginnya tembok perusahaan yang seolah tak berwajah.
Bayang-Bayang Konglomerat
Nama besar Tomy Winata mencuat. Lahir di Kota Pontianak, 23 Juli 1958, pria keturunan Tionghoa ini dikenal sebagai pemilik Artha Graha Group, konglomerasi bisnis perbankan, properti, dan infrastruktur. Di balik citra sosial lewat Artha Graha Peduli, ironi menggantung. Kelapa sawit yang membesarkan pundi-pundi rupiah justru menorehkan luka di tanah kelahirannya sendiri.
Tomy Winata, yang kerap tampil sebagai filantropis, kini disebut-sebut sebagai pemilik PT CUS lahan kerja Mirawati sehari-hari. Nama besar itu jadi bayang raksasa di balik duka kecil sebuah keluarga nelayan-sawit yang kehilangan tulang punggungnya. Ketika uang dan kuasa bertemu, suara rakyat kecil sering terpinggirkan.
Hening yang Menyayat
Lebih dari sepekan berlalu, tak ada kabar penyelidikan, tak ada kejelasan. Polisi hadir di pemakaman, lalu lenyap seperti angin lewat. Sementara keluarga masih menunggu, berharap keadilan bukan sekadar kata di spanduk kampanye.
“Anak saya tulang punggung keluarga. Kenapa dia meninggal seperti itu?” tanya Jaitun. Pertanyaan itu bukan sekadar untuk aparat, tapi juga untuk sistem yang kerap lebih peduli pada profit ketimbang nyawa.
Di luar, hamparan sawit berdiri rapi, daun-daunnya berkilau diterpa matahari sore. Indah sekaligus getir. Setiap pohon seolah menyimpan rahasia, mungkin juga air mata Mirawati.
Duka yang Menggugat
Kasus ini bukan hanya tentang kematian misterius seorang pekerja sawit. Ini tentang relasi timpang antara konglomerat dan pekerja, tentang aparat yang lamban, tentang perusahaan yang abai. Tentang betapa murahnya harga nyawa ketika berhadapan dengan modal besar.
Kayong Utara kini menunggu jawaban. Bukan dari bisik-bisik warung kopi, tapi dari penyelidikan yang nyata. Dari keberanian aparat menantang bayang-bayang besar yang selama ini tak tersentuh.
Mirawati tak bisa lagi bersuara. Tapi kepergiannya menggugat. Menggugat perusahaan yang lupa arti belasungkawa, menggugat aparat yang menutup telinga, menggugat negara yang seharusnya melindungi.
Seruan Keadilan Nyata
Suara Jaitun adalah suara banyak ibu di pedalaman Kalimantan yang anaknya bergulat dengan kerasnya industri sawit. “Kami hanya ingin kejelasan,” ulangnya. Kalimat itu sederhana, tapi mengguncang.
Kematian Mirawati adalah potret getir industri sawit Indonesia. Di balik label “emas hijau”, ada peluh, ada darah, ada duka yang tak selalu sampai ke meja kekuasaan.
Kayong Utara memanggil nurani. Sebab, jika nyawa pekerja kelapa sawit hanya jadi angka, siapa lagi yang berani menanam mimpi di tanah yang terus diperas?







Komentar