Seorang pemuda Kuwait, kaya raya, memiliki sepuluh perusahaan, dia tinggalkan itu semua untuk bisa ikut berlayar ke Gaza

✍️Ali Abo Rezeg

Catatan dan pengamatan saya saat berada di Tunisia, menyaksikan pelepasan teman-teman yang ikut Armada Keteguhan (Global Sumud Flotilla) menuju Gaza:

  1. Misi ini sungguh berat. Ada relawan yang sudah menunggu berbulan-bulan, sampai harus resign dari pekerjaan atau bahkan dipecat hanya demi bisa ikut berlayar.
  2. Ratusan relawan datang tapi harus pulang lagi karena kursi di kapal tidak cukup. Puluhan orang kembali sambil menangis, air mata memenuhi mata dan wajah mereka.
  3. Rakyat Tunisia benar-benar memenuhi jalanan. Semua turun: anak-anak, perempuan, orang tua, pemuda, bahkan aparat polisi ikut meneriakkan dukungan untuk Palestina.
  4. Kehadiran peserta dari negara-negara Maghrib (Aljazair, Tunisia, Maroko, Libya, Mauritania) dan negara Teluk sangat menonjol. Sebaliknya, dari negara-negara Timur Tengah Arab hampir tak terlihat.
  5. Ada seorang nenek dari Bahrain, usianya sudah lebih dari 70 tahun. Dia sangat ngotot ingin ikut berlayar. Saya melihatnya bolak-balik dari satu perahu ke perahu lain, dari satu panitia ke panitia lain, meyakinkan mereka bahwa dia sanggup menanggung perjalanan berat ini. Saya tidak tahu akhirnya bagaimana, tapi saya berharap sekali dia berhasil ikut.
  6. Seorang pemuda Malaysia memeriksa para aktivis solidaritas satu per satu, terutama mereka yang telah pergi selama lebih dari 20-30 hari dan yang anggarannya hampir habis, untuk membantu mereka membayar biaya perumahan dan sewa. Banyak relawan yang memang berangkat dengan biaya pribadi.
  7. Ada seorang pemuda Kuwait, kaya raya, yang memiliki sepuluh perusahaan, termasuk perusahaan real estat dan mobil, dan lainnya, berkata: “Saya memutuskan untuk meninggalkan semua itu dan ikut berlayar karena saya tidak bisa tidur karena rasa sakit hati nurani atas kejahatan yang sedang berlangsung di Gaza.”
  8. Seorang pemuda Brasil menangis seperti anak kecil ketika salah satu kapal besar diserang Israel sebelum berlayar ke Gaza. Dia menangis bukan sebentar, tapi berjam-jam, karena khawatir itu menunda keberangkatan dan melemahkan momentum politik serta media yang sudah dibangun.
  9. Tampaknya ada tekanan politik besar ke pemerintah Tunisia agar melarang keberangkatan armada. Tapi mengejutkan, keberangkatan tetap terlaksana sesuai rencana. Memang agak terlambat dan penuh hambatan, tapi sejarah mencatat: apa yang ditanggung Tunisia tidak pernah sanggup ditanggung oleh banyak negara Arab dan Islam besar lainnya.
  10. Saat ini ada semacam “Intifada Dunia” yang nyata untuk Gaza. Namun nasib Gaza yang malang adalah karena letak geografisnya yang terkepung dari semua sisi. Meski begitu, dalam sejarah banyak sekali revolusi dunia yang mendukung Gaza. Saya yakin suatu saat jutaan orang akan benar-benar sampai ke Gaza—kalau saja para tetangganya telah membaik.

رحم الله الشهداء — Semoga Allah merahmati para syuhada.

(sumber: fb)

Komentar