Oleh: Ustadz Muhammad Abduh Negara
Melanjutkan kembali tulisan saya sebelumnya, bahwa kata “selingkuh” itu tidak bisa digunakan untuk menetapkan hukum syariat atasnya, karena kata itu terlalu luas cakupannya dan tidak jelas batasannya, padahal hukum itu (baik berupa qadha maupun fatwa) hanya diberikan pada sesuatu yang jelas batas dan cakupannya.
Di sini, kita tambahkan lagi, bahwa kata “selingkuh” itu biasanya menjadi lawan dari kata “setia” (lihat Ringkasan AI Google di bawah ini).

Nah, pertanyaan berikutnya, apa itu “setia”?
Kata “setia” mengacu pada sikap berkomitmen pada satu pasangan saja, dan tidak beralih (baik menambah atau mengganti) pada perempuan lain (pada kasus laki-laki). Artinya, laki-laki setia adalah laki-laki yang berkomitmen hidup dengan satu pasangan saja sampai maut memisahkan, layaknya kata-kata dalam berbagai drama.
Adapun laki-laki yang berselingkuh adalah laki-laki yang tidak setia dengan satu pasangan saja, dan secara sembunyi-sembunyi membangun hubungan dengan perempuan lain. Nah, yang jadi masalah, dalam Islam “membangun hubungan dengan perempuan lain” ini, tidak selalu haram.
Kalau si laki-laki berkhalwat dengan perempuan tersebut sebelum menikah, atau berzina dengannya (wal ‘iyadzu billah), maka jelas itu haram. Tapi kalau si laki-laki melakukan ta’aruf tanpa khalwat, lalu menikah secara siri, tentu tidak bisa disamakan dengan yang pertama. Meski saya sendiri mengkritik praktik nikah siri dan tidak setuju dengannya, tapi mendudukkannya pada posisi yang sama dengan zina, jelas adalah kesalahan dan pengabaian terhadap syariat.
Semua kemungkinan di atas: khalwat, zina, ta’aruf, nikah siri, dst., yang dilakukan oleh seorang laki-laki yang telah beristri, oleh masyarakat dianggap sebagai selingkuh, karena laki-laki tersebut dianggap tidak setia. Tapi pandangan Islam, tidak pukul rata seperti itu. Karena itu, saya katakan bahwa jangan gunakan kata “selingkuh” kalau bicara hukum syariat, tapi gunakanlah kata yang jelas dan tidak multitafsir.
(*)







Komentar