Sejak era reformasi, tidak ada presiden yang harus menghadapi bencana dan masalah bertubi-tubi seberat SBY.
Bayangkan, baru beberapa bulan menjabat (20 Oktober 2004), SBY harus menghadapi bencana maha dahsyat Tsunami Aceh (26 Desember 2004), di tengah kondisi ekonomi yang masih belum stabil, bank-bank bermasalah, cadangan devisa yang tipis, dan rasio utang yang sangat tinggi.
Belum tuntas memulihkan kondisi Aceh (2004) dan sekitarnya, datang masalah baru. Bom Bali (tahun 2005). Tahun berikutnya, gempa di Jogja (2006). Lalu pesawat jatuh. Kapal tenggelam. Dll.
Walaupun berhasil mengatasi semuanya, tetap saja SBY dicap lamban dalam mengatasi bencana. SBY bahkan diasosiasikan sebagai kerbau karena dianggap terlalu lamban dalam bergerak. Didemo hampir tiap hari.

Tapi pernahkah saat itu kita mendengar SBY mengeluh (pidato berisi curhat)?
Tidak. Tidak pernah. Dia tetap bekerja. Keluhan masyarakat (Baca: kritik keras PDIP) dia anggap sebagai cambuk untuk semakin keras bekerja, semakin hati-hati dalam berbicara, dan semakin perhitungan dalam bertindak.
Hasilnya, selama 10 tahun berkuasa, dia mewariskan pertumbuhan ekonomi rata-rata 5,8% yang tidak mampu dipertahankan penerusnya, rasio utang dan beban fiskal yang semakin turun dan semakin ringan, cadev yang naik signifikan, dan PDB yang meningkat berlipat-lipat.
Bandingkan sekarang. Baru beberapa hari menjabat, langsung curhat di hadapan pendukung karena pernah dinilai kerjanya hanya 11 dari 100.
Dikritik sebagian kecil rakyatnya, curhat lagi di depan pendukung.
Dan sekarang, ketika menghadapi bencana yang lumayan berat, intensitas curhat semakin tinggi. Bahkan sekretaris kabinet ikutan curhat sampai berbusa-busa. Apalagi pendukungnya. Ketularan baperan semua.
Padahal tinggal kerja saja. Kritik sebagian kecil rakyat saat ini nggak ada apa-apanya dibandingkan hujatan yang diterima SBY dulu. Kalau kerjanya bener, kritik dan hujatan itu akan hilang sendiri. Punya instrumen lengkap mengatasi semua kok malah curhat mulu.
(Wendra Setiawan)







Komentar