Sebagian orang memahami, bahwa tugas ulama itu sekadar memberikan siraman rohani, mengademkan suasana, dan menenangkan semua pihak.
Kemungkinan, pemahaman ini lahir dari pemahaman bahwa fungsi agama memang untuk itu. Agama adalah obat penenang, ketika kondisi dunia sedang rusak. Inilah yang dulu dikritik Karl Marx dengan ungkapan masyhurnya, “Agama adalah Candu”.
Pemahaman ini tidak tepat, jika kita merujuk pada al-Qur’an dan as-Sunnah, serta praktik dakwah Nabi صلى الله عليه وسلم dan biografi para ulama besar. Al-Qur’an menjadikan dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar sebagai ciri utama dari umat Islam, umat yang terbaik ini (QS Ali Imran 110). As-Sunnah menyatakan, seseorang yang terbunuh karena menasihati penguasa lalim adalah pemimpin para syuhada.
Dakwah Nabi صلى الله عليه وسلم mengguncang keras masyarakat dan pembesar Makkah, juga melahirkan permusuhan luar biasa dari kalangan munafikin dan Yahudi Madinah. Seandainya Nabi hanya mau kehidupan yang tenang dan nyaman, beliau tidak perlu berdakwah, dan dengan reputasi beliau mudah saja beliau jadi pemimpin Makkah saat itu.
Para imam empat mazhab, semuanya pernah mengalami penjara atau siksaan dari penguasa. Imam Abu Hanifah wafat dalam penjara. Imam Malik disiksa oleh penguasa karena dituduh memprovokasi rakyat untuk tidak mau berbaiat. Imam asy-Syafi’i pernah dituduh jadi bagian dari pemberontak, meski akhirnya itu terbukti tidak benar. Imam Ahmad dipenjara, disiksa, dan dilarang mengajar karena mempertahankan kebenaran.
‘Abdullah bin al-Mubarak, seorang ulama salaf, imam yang agung, sekaligus mujahid yang tangguh di medan jihad. Al-Bukhari, imam agung, penulis kitab paling shahih setelah al-Qur’an, diboikot orang ramai, dan wafat dalam keadaan diboikot dan dimusuhi banyak orang. An-Nawawi diusir dari negerinya, karena mengkritik kebijakan penguasa yang menyulitkan rakyat. Ibnu Taimiyyah, tidak hanya sibuk dengan majelis ilmu di ruangan ber-AC, tapi juga berjihad melawan Tartar, Nasrani, dan lainnya.
Tugas ulama adalah dakwah, menyampaikan kebenaran, amar ma’ruf dan nahi munkar, dengan tetap mempertimbangkan maslahat dan mafsadat bagi umat dan dakwah Islam.
Para ulama paham, bahwa rasa aman dan stabilitas itu penting, tapi itu bukan alasan untuk diam, apalagi membenarkan kezaliman, apalagi menjilat penguasa, layaknya anjing yang menjulurkan lidahnya dan menjilat makanan yang diberikan padanya.
Ulama adalah thaifah manshurah, kata Imam al-Bukhari. Tentu ulama yang dimaksud adalah yang tegas dalam kebenaran, tegak dan kokoh mengikuti al-Qur’an dan as-Sunnah, bukan para ulama suu yang hobi mengumpulkan dunia, dan berfatwa mengikuti keinginan para durjana.
(Ustadz Muhammad Abduh Negara)







Komentar