SATU JAM BERSAMA IMAM MASJID NABAWI YANG SUARANYA LEMBUT DAN SANGAT MENYENTUH

SATU JAM BERSAMA IMAM MASJID NABAWI

Oleh : Nur Hidayatullah Yuzarsif

Satu pengalaman yang akan saya ingat selalu adalah ketika saya bisa masuk ke ruangan khusus Imam Masjid Nabawi Syekh Ali bin Abdurrahman Al-Hudzaify. Beliau adalah Imam senior Masjid Nabawi yang juga pernah menjadi Imam Masjidil Haram di Makkah.

Begini ceritanya. Malam terakhir berada di Madinah Al-Munawwarah Rabu 13 November 2019, saya shalat Isya di Masjid Nabawi. Ketika sholat Isya dimulai, saya mendengar bacaan ayat Alquran yang suaranya tidak asing di telinga saya. Karena saya mendengarkan murattal beliau sejak di bangku MTs tahun 2003-an.

Usai shalat dan zikir, saya keluar menuju pintu Quba. Di depan pintu saya tanya penjaga pintu. “Yang jadi imam tadi siapa?”

Dijawab, yang jadi imam barusan namanya Syekh Ali.

“Syekh Ali Al-Hudzaifi?”

Dijawab, iya.

Lalu saya memperkenalkan diri dan bertanya bagaimana caranya agar bisa jumpa dengan beliau. Saya pun diarahkan menuju pintu selatan, dibilang kalau disana ada pintu khusus keluar masuknya Imam dan Muazin Masjid Nabawi.

Saya bilang, saya tidak tahu pintu yang mana. Kemudian diarahkan untuk bertanya dengan petugas yang lain. Setelah saya mintai bantuan Alhamdulillah, orang Arab ini berkenan mengantarkan saya sampai ke ruang masuk Imam Masjid.

Tapi tidak lama kemudian saya dikeluarkan ‘askar. Saya tidak paham dia bilang apa, karena pakai bahasa Amiyah. Yang saya paham, kalau mau ketemu tunggu aja di depan pintu nggak usah masuk.

Orang yang mengantarkan saya menjelaskan bahwa saya memang harus bertemu dengan Syekh Ali Hudzaifi. Saya pun dikasih kursi lipat untuk duduk menunggu di depan pintu.

Sambil menunggu di depan pintu yang terletak di sebelah selatan kubah hijau makam Rasulullah SAW, saya membaca sholawat dan membaca Alquran. Dapat sekitar 2 juz. Tapi Syekh belum juga keluar. Pada masa penantian itu pula saya bertemu Muazin Masjid Nabawi yang bernama Syekh ‘Iyadh.

Di masa penantian itu, saya sempat ngobrol dengan para pengunjung yang kebetulan lewat di depan saya. Ada yang berasal dari Kazakhstan, India, Arab, China, Rusia, dll. Semuanya ingin masuk pintu Imam Masjid Nabawi, tapi semuanya dikeluarkan oleh ‘askar.

Penantian ini dihitung sejak usai sholat Isya. Tahu gimana rasanya? Perut keroncongan tapi ditahan. Pengen ke kamar mandi tapi takut Syekhnya keluar dari Masjid.

Hingga akhirnya skitar jam 22.30 malam, saya diperkenankan lagi memasuki pintu Imam Masjid. Tapi masih belum bertamu. Ternyata Syekh Hudzaifi sedang menyimak bacaan Alquran para muridnya.

Selesai semua muridnya mengaji dan pulang ke rumah masing-masing, maka saya diizinkan masuk bertemu Imam Masjid Nabawi.

Setelah melihat orangnya, saya tidak menyangka beliaulah yang bernama Syekh Hudzaifi. Orangnya sudah sepuh.

Saya beri salam, Assalamu’alaikum, beliau menjawab ramah dan tersenyum. Saya diperkenankan duduk di hadapan beliau. Bertanya kabar, asal dari mana, gimana kabar Indonesia, sudah berapa hari di Madinah dan seterusnya.

Bukan main senangnya bisa bertemu beliau, seorang ulama yang telah mengimami jutaan umat Islam sedunia.

Beliau menjamu saya dengan makanan dan minuman. Minumannya masih saya simpan sampai sekarang, sebotol air zamzam.

Saya bilang ke beliau, saya sudah lama mengenal nama Syekh, sejak saya duduk di bangku MTs. Tapi baru kali ini liat orangnya. Saya suka sekali dengan murattal Syekh. Karenanya saya rela menunggu sejak habis isya sampai sekarang, karena ingin sekali berjumpa dengan Syekh.

Lalu saya duduk di samping kanan beliau, kemudian membuka tas dan memberi beliau hadiah buku yang saya tulis berjudul “Fa Walli Wajhaka Syathral Masjidil Haram”. Beliau buka bolak balik buku itu.

Beliau bilang, kamu kuliah di Jami’ah Islamiyah Madinah? Saya jawab, tidak.

Kenapa kamu bisa bicara dan menulis kitab berbahasa Arab dengan baik? Saya jawab, saya dulu mondok di pesantren yang guru-gurunya banyak alumnus dari Al-Azhar Mesir, Ummul Qura Makkah, dan Madinah. Dan saat ini saya sebagai dosen di Fakultas Syariah dan Hukum Jami’ah Islamiyah Walisongo (UIN Walisongo) di Semarang Indonesia.

“Masya Allah, Barakallah fiik. Anta Andunisi, ana masrur bi liqa-ik. Senang bahagia sekali bertemu kamu”, kata Syekh.

Beliau bercerita panjang lebar. Termasuk pengalaman beliau di Indonesia. Kami juga sempat diskusi tentang ayat Fa Walli Wajhaka Syathral Masjidil Haram. Kata beliau, hadis “Ma bainal Masyriq wal Magrib Qiblah” itu kalau di Indonesia, mafhumnya akan berbunyi “Ma bainas Syamal wal Janub Qiblah”. Saya pun mengamini.

Setelah dirasa cukup, karena sudah hampir jam 12 malam, saya izin pamit. Saya bilang, Syekh doakan anak dan istri saya menjadi sholeh/sholehah, dan doakan saya agar bisa menghafal Alquran. Beliaupun mendoakan, dan nitip salam untuk jamaah rombongan saya dan jamaah Indonesia umumnya.

Setelah itu saya izin ke beliau untuk mengambil foto, sebagai kenang-kenangan. Beliau jawab, tidak usah nggak apa-apa. Kenang-kenangan terbaik untukmu adalah doa saya. Saya ingat kamu dan pasti akan saya doakan kamu. Semoga nanti kita bertemu lagi.

Kemudian lanjut beliau, besok-besok kalau mau ketemu saya lagi, langsung saja masuk ke ruangan saya, tidak usah menunggu seperti tadi.

Kemudian ‘askar yang tadi melarang saya masuk, melirik saya dan tersenyum. Setelah pamit, saya bersalaman dengan Syekh dan menyalami para ‘askar yang berada di dekat pintu.

‘Askar itu bilang, Selamat ya, karena kesabaranmu menunggu akhirnya kamu bisa ketemu dengan Syekh Ali Hudzaifi.

Alhamdulillah saya kembali ke hotel sekitar jam setengah satu malam, dengan perasaan bahagia.

(*)

Komentar