Saat Kritik Berbayar Ancaman: Laporan BBC Soal Kekerasan Digital di Indonesia

Seorang pengguna X (dulu Twitter) bernama AL, mahasiswi 18 tahun, mengalami pengalaman menegangkan setelah mengunggah kritik terhadap kebijakan pemerintah. Tidak hanya menerima pesan intimidatif, nomor WhatsApp milik ayahnya bahkan diambil alih oleh pihak tidak dikenal yang mendesaknya untuk menghapus unggahan tersebut. Kejadian ini kembali mempertegas meningkatnya ancaman kekerasan digital terhadap warga sipil di Indonesia.

Akun WhatsApp Ayah Diretas, Pesan Intimidasi Masuk ke Grup Keluarga

Insiden ini terjadi pada 1 November 2025. Ketika sedang berada di rumah bersama orang tua, ayah AL menerima telepon mencurigakan dari seseorang yang secara spesifik menyebut nama lengkap putrinya. Meski mengira itu hanya penipuan, situasi berubah tidak lama setelah ayahnya pergi ke masjid.

Tiba-tiba pesan dari nomor ayah muncul di grup WhatsApp keluarga: pelaku meminta unggahan AL di X dihapus dalam waktu tiga hari. Padahal ponsel ayahnya tertinggal di meja ruang tamu.

Suasana panik langsung pecah. AL, ibunya, dan adik langsung mencoba membalas pesan, namun pesan lain sudah terhapus oleh pelaku. AL semakin yakin bahwa nomor WhatsApp ayahnya sudah berhasil dibajak. Setelah beberapa kali melakukan panggilan, akun akhirnya kembali normal.

Unggahan yang dimaksud ternyata kritik AL terkait program Makan Bergizi Gratis (MBG). Meski tidak populer dan hanya memiliki kurang dari 100 tayangan, postingan itu tetap memicu intimidasi.

Kekerasan Digital Meningkat – “Bukan Lagi Aktivis, Warga Biasa pun Disasar”

Direktur SAFEnet, Nenden Sekar Arum, menyebut bahwa pola serangan seperti ini bukan yang paling umum, namun tujuannya jelas: membangun rasa takut dan membungkam suara kritis. Ia menilai bahwa bentuk teror digital kini semakin acak, menandai pergeseran dari serangan yang dulu hanya menyasar aktivis berprofil tinggi, menjadi menyasar warga biasa yang sekadar merepost atau memberi komentar.

SAFEnet mencatat pada awal 2025, pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi dan keamanan digital meningkat drastis. Serangan ke individu mencapai 137 kasus, dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya.

Praktisi keamanan siber Teguh Aprianto menekankan bahwa pola teror semacam itu sengaja dibuat terang-terangan untuk memunculkan efek gentar. Menurutnya, ini adalah cara yang efektif untuk membuat masyarakat enggan bersuara.

Dampak Psikologis dan Perjuangan Mempertahankan Hak Berpendapat

Meski terornya tidak berlangsung lama, trauma itu membekas. Ayah AL meminta putrinya berhenti mengomentari isu pemerintahan, sementara ibu AL sempat menangis namun tetap memberi dukungan. AL sendiri menutup akun X dan mulai memasang pengamanan digital berlapis, sekaligus melapor pada organisasi sipil.

Namun ia menegaskan satu harapan: kritik tidak boleh dimatikan.
Menurutnya, alih-alih menekan kritik publik, lebih baik pemerintah fokus pada isu serius seperti judi online dan pinjol.

Jika Akun Diretas – Apa yang Bisa Dilakukan?

SAFEnet menyarankan langkah utama bagi korban peretasan:

  1. Pulihkan akun secepat mungkin, lalu ganti kata sandi serta aktifkan keamanan ganda.
  2. Dokumentasikan kronologi lewat screenshot.
  3. Buat laporan ke platform terkait dan organisasi sipil seperti SAFEnet.
  4. Hindari konfrontasi langsung dengan pelaku agar ancaman tidak meningkat.

Landasan Hukum Teror Digital dan Kelalaian Negara

Konsultan IT Alfons Tanujaya menjelaskan bahwa pembajakan akun merupakan kejahatan siber yang bisa dijerat sejumlah pasal, mulai dari UU ITE Pasal 32, Pasal 35, Pasal 30, hingga UU PDP dan KUHP. Hukuman bisa mencapai 12 tahun penjara dan denda miliaran rupiah—namun tetap membutuhkan pembuktian kuat.

Sayangnya, menurut SAFEnet, penanganan kasus kekerasan digital selama ini masih jauh dari ideal. Banyak laporan tidak ditindak serius, sehingga pelaku kerap leluasa mengulangi aksinya.

Ketika Ketakutan Menguasai, Demokrasi Melemah

Dosen UGM Dewa Ayu Diah Angendari menilai maraknya intimidasi digital menunjukkan betapa mudahnya data warga digunakan untuk mengontrol opini publik. Ancaman ini, jika dibiarkan, akan memunculkan self-censorship—masyarakat takut bersuara meski benar.

“Tanpa kritik, penyalahgunaan kekuasaan tinggal menunggu waktu,” tegasnya.

Diah menekankan bahwa dokumentasi dan publikasi kasus harus terus dilakukan sebagai bentuk perlawanan sipil.

Komentar