Rp 30 Triliun Raib! Skandal Solar Non-Subsidi Seret Adaro dan Direksi Pertamina

Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman, meminta Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk benar-benar serius mengusut dugaan penyimpangan jual-beli bahan bakar minyak (BBM) non-subsidi yang diduga melibatkan sejumlah perusahaan besar di sektor pertambangan. Dorongan ini disampaikan usai Kejagung memeriksa Direktur Keuangan PT Adaro Minerals Indonesia, Heri Gunawan, pada Senin (7/8/2025). Diketahui, Adaro Minerals merupakan anak usaha PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO) yang dimiliki pengusaha Garibaldi Thohir alias Boy Thohir, kakak dari Menteri BUMN Erick Thohir.

Menurut Yusri, kasus dugaan penyelewengan ini harus menjadi perhatian serius karena menyangkut kerugian negara yang nilainya tidak kecil. Ia menyinggung praktik penjualan solar industri periode 2018–2023 yang ditaksir menimbulkan kerugian hingga triliunan rupiah. Bahkan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) disebut menemukan adanya potensi kerugian mencapai Rp3 triliun per tahun akibat penjualan solar non-subsidi ke Adaro dengan harga yang jauh di bawah kewajaran.

Kasus ini diduga melibatkan jajaran Direksi Pertamina periode 2018–2021 serta Pertamina Patra Niaga (PPN) periode 2021–2023, bersama PT Adaro Energy Indonesia Tbk. Yusri menilai kebijakan Pertamina kala itu menetapkan harga jual solar non-subsidi di bawah batas terendah, bahkan lebih murah dari harga pokok penjualan (HPP) solar bersubsidi. Praktik tersebut, menurutnya, jelas merugikan negara dalam jumlah besar dan seharusnya menjadi perhatian khusus Kejagung.

Yusri juga menyoroti bahwa Pertamina dan PPN tidak menjalankan aturan terkait penetapan harga berdasarkan landed cost maupun pocket margin sebagaimana tertuang dalam Pedoman Pengelolaan Pemasaran BBM Industri sejak 2016. Ia menduga penetapan harga dilakukan tanpa mekanisme negosiasi yang jelas, sehingga berpotensi membuka ruang bagi praktik pencopetan uang negara secara sistematis. Selain itu, ia menegaskan bahwa direksi Pertamina pada dua periode tersebut gagal melakukan evaluasi berkala atas harga penjualan solar, sehingga harga yang berlaku justru lebih rendah dari HPP maupun harga dasar solar subsidi.

Atas praktik ini, Yusri memperkirakan kerugian negara mencapai Rp9,4 triliun dalam rentang 2021–2023 saja, atau sekitar Rp3 triliun per tahun. Jika ditarik sejak 2018, total kerugian ditaksir bisa menembus lebih dari Rp30 triliun. Selisih harga yang terlalu rendah dari standar industri inilah yang diduga menjadi celah keuntungan bagi pihak tertentu. Ia menduga sebagian besar solar tersebut diarahkan untuk kepentingan tambang di bawah grup Adaro.

Komentar