Republik Titipan: Demokrasi yang Cedera

Tradisi Titip-Menitip di Pemerintahan Prabowo

Dalam negara demokrasi, jabatan publik semestinya lahir dari meritokrasi dari kompetensi, integritas, dan dedikasi. Namun di Indonesia, terutama menjelang dan setelah terbentuknya kabinet pemerintahan Prabowo Subianto, tradisi itu tampak makin pudar. Yang mengemuka justru budaya “titip-menitip” kekuasaan: praktik halus yang sesungguhnya menyalahi semangat demokrasi.

Awalnya, publik menyoroti pernyataan Prabowo yang secara terbuka menitipkan seorang anggota Polri kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo agar “diperhatikan” dan diberi jabatan lebih tinggi. Sekilas terdengar ringan, namun dalam tatanan negara demokratis, itu adalah sinyal bahaya. Campur tangan politik dalam urusan promosi di lembaga penegak hukum menggerus independensi institusi, sekaligus memperkuat patronase personal.

Fenomena ini tidak berdiri sendiri. Era Prabowo tampaknya menjadi panggung terbuka bagi tradisi titip-menitip kekuasaan lintas elite. Presiden Jokowi menitipkan putranya, Gibran Rakabuming Raka, hingga kini duduk sebagai wakil presiden. Susilo Bambang Yudhoyono turut memastikan putranya, Agus Harimurti Yudhoyono, mendapat kursi di kabinet. Zulkifli Hasan menjabat menteri sekaligus ketua partai. Bahlil Lahadalia disebut dekat dengan poros besar partai penguasa. Bahkan pengusaha besar seperti Haji Isam dikabarkan memiliki “wakil” dalam komposisi kabinet memperlihatkan kuatnya aroma oligarki di balik perombakan kekuasaan.

Di titik inilah demokrasi kita kehilangan ruhnya. Jabatan publik berubah menjadi hasil negosiasi, bukan prestasi. Politik berubah menjadi pasar kekuasaan, di mana loyalitas pribadi lebih berharga daripada integritas.

Praktik seperti ini menandai pergeseran nilai: dari demokrasi berbasis partisipasi rakyat, menuju oligarki berbasis titipan elite. Jika tradisi ini terus berlanjut, maka yang tumbuh bukanlah pemerintahan rakyat, melainkan pemerintahan hasil barter kekuasaan di mana “titipan” lebih menentukan daripada kemampuan.

Sudah saatnya publik menolak normalisasi budaya seperti ini. Karena setiap kali kekuasaan dibagi lewat jalur titipan, satu hal yang ikut hilang adalah kepercayaan: bahwa negara ini masih berpihak pada yang pantas, bukan pada yang dekat.

Komentar