Isu tentang kekuasaan Joko Widodo pasca lengser kembali mencuat setelah pernyataan seorang politikus senior PDIP yang menyinggung dugaan adanya bunker di bawah rumah Jokowi, yang disebut-sebut menjadi tempat penyimpanan uang dalam jumlah fantastis. Pernyataan itu memang belum dibuktikan, namun kehadirannya di ruang publik bukan tanpa sebab. Ia muncul di tengah akumulasi berbagai kejanggalan politik yang semakin sulit diabaikan.
Biasanya, mantan presiden di Indonesia memilih menepi, menjaga jarak dari hiruk-pikuk kekuasaan, dan berperan sebagai penasehat moral atau elder statesman. Jokowi justru menampilkan pola berbeda. Meski tidak lagi memegang jabatan formal, pengaruh politiknya masih sangat terasa. Bahkan, dalam beberapa momentum, terlihat lebih dominan dibanding presiden terpilih sendiri.
Yang paling menyita perhatian publik adalah keterlibatan Jokowi dalam dinamika Partai Solidaritas Indonesia (PSI), partai yang kini dipimpin oleh anak bungsunya, Kaesang Pangarep. Kaesang, yang tidak memiliki rekam jejak panjang di politik, melesat cepat ke posisi ketua umum. Secara hukum mungkin sah, namun secara etika demokrasi, situasi ini memunculkan tanda tanya besar: apakah kekuasaan benar-benar telah dilepas, atau hanya berganti kendaraan?
Kecurigaan publik semakin menguat ketika melihat realitas di lapangan. Hampir setiap kegiatan PSI digelar secara mewah di hotel-hotel berbintang. Kantor DPW dan DPC di berbagai daerah tampil megah, modern, dan profesional. Padahal, secara elektoral, PSI memiliki kursi parlemen yang sangat terbatas dan basis kader akar rumput yang belum signifikan. Dalam logika politik yang sederhana, kondisi ini sulit dijelaskan hanya dengan iuran anggota atau subsidi negara.
Di sinilah pertanyaan publik menemukan momentumnya: dari mana sumber pendanaan itu berasal?
Belum ada bukti bahwa Jokowi memiliki “uang unlimited”, apalagi hingga triliunan rupiah sebagaimana isu liar yang berkembang. Namun, politik tidak hanya berbicara soal bukti hukum, melainkan juga soal persepsi, pola, dan konsistensi. Ketika kemewahan partai tidak sebanding dengan kekuatan elektoralnya, ketika mantan presiden masih sangat aktif mengurus partai yang dipimpin anaknya sendiri, maka kecurigaan publik menjadi sesuatu yang wajar, bukan fitnah.
Masalah utama dalam konteks ini bukan semata Jokowi, Kaesang, atau PSI. Masalah sebenarnya adalah minimnya transparansi pendanaan partai politik. Selama publik tidak diberi penjelasan terbuka tentang siapa donatur utama, bagaimana aliran dana, dan untuk apa dana itu digunakan, maka berbagai spekulasi akan terus hidup dan berkembang.
Dalam demokrasi yang sehat, kekuasaan seharusnya berjarak dengan keluarga, dan kekayaan politik harus bisa diaudit secara moral, bukan hanya legal. Jika tidak, maka yang terjadi bukan regenerasi, melainkan normalisasi dinasti dan konflik kepentingan.
Isu bunker, uang triliunan, dan kemewahan PSI mungkin belum terbukti. Namun, semuanya adalah gejala dari satu persoalan besar: kekuasaan yang enggan benar-benar ditinggalkan, dan sistem yang gagal menjelaskan dirinya sendiri kepada publik.
Dan selama pertanyaan-pertanyaan itu tidak dijawab dengan transparansi, publik akan terus bertanya:
jika bukan “uang unlimited”, lalu apa yang sebenarnya menopang kemewahan itu?







Komentar