Program MBG Mengulangi Kesalahan Proyek IKN

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) diluncurkan dengan niat mulia, menyehatkan anak-anak Indonesia. Namun, dalam praktiknya, program ini justru menyingkap wajah lama bangsa kita: suka menerabas, asal bapak senang, pencitraan politik, dan fatalisme.

  1. Suka Menerabas

Kebiasaan “menerabas” seolah jadi budaya kita. Apa-apa ingin cepat jadi, tanpa peduli fondasi. MBG pun demikian. Program dikebut pelaksanaannya tanpa perencanaan matang: sekolah belum punya dapur layak, distribusi tidak jelas, hingga menu yang sering tidak sesuai selera lokal. Akibatnya, makanan memang datang, tapi gizinya asal-asalan, porsinya tidak seragam, bahkan ada yang basi.

Anak-anak akhirnya sekadar kenyang, tapi tidak benar-benar mendapat nutrisi. Program besar yang seharusnya jadi investasi kesehatan malah berakhir seperti proyek coba-coba.

  1. Asal Bapak Senang

Di atas kertas, laporan MBG tampak indah, semua anak dapat, semua bergizi, semua sukses. Tetapi realitas di lapangan jauh berbeda. Menu sederhana disebut “bergizi seimbang”, makanan seadanya ditulis “penuh protein”, dan semua keluhan ditutup rapat agar tidak sampai ke telinga pejabat.

Budaya asal bapak senang membuat bawahan takut jujur. Sekolah lebih sibuk memastikan laporan aman ketimbang memperjuangkan kualitas makanan anak. Yang penting atasan puas, meski anak-anak jadi korban.

  1. Pencitraan Politik

Yang paling menonjol adalah pencitraan. MBG menjadi panggung kamera. Pejabat ramai-ramai difoto saat membagikan nasi kotak, seolah-olah mereka pribadi yang membiayai semua itu, padahal dananya jelas-jelas uang rakyat.

Alih-alih fokus pada mutu gizi jangka panjang, pejabat lebih sibuk memastikan program ini mendatangkan efek populer seketika: viral di media sosial, trending di berita, dan tentu saja, menambah modal elektoral.

  1. Fatalisme: Pasrah Tanpa Perubahan

Lebih menyedihkan lagi, sifat fatalistik turut menggerogoti. Banyak pihak merasa masalah MBG sudah “nasibnya begitu.” Orang tua pasrah ketika anaknya mendapat makanan berkualitas buruk. Guru diam karena takut dianggap melawan. Pejabat daerah pun ikut menutup mata, dengan dalih “yang penting sudah ada program pusat.”

Fatalisme ini membuat kritik dan evaluasi tenggelam. Padahal, tanpa keberanian untuk berkata “salah”, program tidak akan pernah diperbaiki. Akhirnya, MBG berjalan di tempat, terus mengulang kesalahan yang sama, tanpa ada harapan perbaikan berarti. Siswa keracunan makanan menjadi untung-untungan. Dan masih terus terjadi di berbagai daerah.

Keempat sifat ini, suka menerabas, asal bapak senang, pencitraan, dan fatalisme, membuat MBG kehilangan makna aslinya. Anak-anak memang dapat makanan gratis, tapi yang mereka telan bukanlah gizi, melainkan simbol ketidakseriusan bangsa dalam membangun kesehatan.

Jika kita ingin MBG benar-benar berhasil, program ini harus dibersihkan dari budaya jalan pintas, laporan palsu, panggung politik, dan sikap pasrah yang mematikan. Pemerintah wajib menata ulang pengelolaan anggaran, memperhatikan kualitas gizi sesuai kebutuhan lokal, dan membuka ruang partisipasi masyarakat.

Tanpa itu semua, MBG hanya akan menjadi kenyang sesaat, lapar berkepanjangan. Dan lagi-lagi, anak-anaklah yang harus membayar mahal kegagalan orang dewasa.

Kita tidak belajar dari pengalaman membangun IKN. Proyek mercusuar yang berakhir tidak jelas nasibnya.

Jika MBG memang tetap diberikan, perlu skala prioritas. Daerah 3T dan sekolah dengan kondisi ekonomi kurang mampu. Sekolah-sekolah negeri/swasta favorit tidak perlu didahulukan. Orang tuanya masih mampu memberikan makanan bergizi untuk anaknya. Dalam prakteknya, yang mudah dikerjakan justru yang didahulukan. Bukan yang paling membutuhkan.

(Oleh: Hanif Acep)

Komentar