Papua harus Mandiri … dengan Sawit
✍🏻AS Laksana
Presiden Prabowo mendengungkan kata lawas—kemandirian—dalam pengarahannya kepada kepala daerah se-Papua, pertengahan Desember lalu, di istana negara. Anda bisa menonton videonya di YouTube.
Ia memoles gagasan kemandirian untuk Papua itu dengan adukan aspal, sinar matahari, air, dan tanaman. Trans-Papua harus dilanjutkan, listrik harus menerangi wilayah itu, dengan tenaga surya dan air, dan kemandirian pangan harus diwujudkan.
Meski demikian, pusat gagasan Prabowo sebetulnya ada di wilayah lain, yaitu energi.
“Kita berharap di Papua kelapa sawit akan ditanam sehingga dapat menghasilkan bahan bakar,” katanya. “Tebu juga. Tebu menghasilkan etanol. Singkong juga menghasilkan etanol.”
Begitu menyebut sawit, tebu, dan singkong, ia menyampaikannya sebagai kebenaran aritmatika. Indonesia menghabiskan sekitar Rp520 triliun per tahun untuk mengimpor bahan bakar, menurut angka yang disampaikan oleh Menteri ESDM Bahlil. Potong pengeluaran itu menjadi dua, akan terjadi penghematan besar. Hilangkan sama sekali, dan imajinasi politiknya mengatakan bahwa dengan sawit, tebu, dan singkong, tiap kabupaten di Indonesia akan mendapatkan Rp1 triliun.
Visinya terdengar rapi, tetapi cara berpikirnya simplistis, dan penalarannya tumpul, sama tumpulnya dengan ketika ia mengatakan jangan takut deforestasi, sawit juga pohon, ada daunnya.
Ia memasang target bahwa mulai tahun depan pemerintah akan menghentikan impor solar. Dalam empat tahun berikutnya, bensin. Itu timeline yang memerlukan kegesitan, hal yang tidak dimiliki oleh pemerintah dan birokrasi Indonesia.
Dan apakah sawit, tebu, dan singkong dapat memikul beban itu? Itu masalah lain.
Kesederhanaan cara berpikirnya sungguh mencemaskan. Bio-energi menjadi berbahaya ketika diperlakukan sebagai jalan pintas dan bukan pilihan berisiko. Sawit, tebu, dan singkong tidak ada masalah untuk ditanam di Papua jika seluruh Papua adalah lahan gundul, padang tandus, dan dalam penanamannya ada penegakan hukum.
Tiga-tiganya tidak terpenuhi.
Negara ini telah menjalankan eksperimen dengan biaya keruntuhan ekologis skala besar di Sumatra. Sekarang, warga Sumatra harus menanggung biaya politik Jakarta.
Sawit diasongkan oleh otak politik sebagai pembangunan, lapangan kerja, dan ketahanan energi. Perkebunan dijadikan instrumen fiskal—ia sumber rente, loyalitas, dan dana kampanye. Ekologi di luar pertimbangan.
Dalam sistem dengan pengawasan yang lemah dan hukum bertindak selektif, penguasa mengubah hutan menjadi hadiah politik.
Di Papua risikonya niscaya lebih mengerikan. Hutannya lebih besar, warganya lebih rentan terhadap intimidasi dan kekerasan aparat, dan perlindungan hukum bagi mereka di bawah batas minimum. Begitu istilah “penghematan” dan “kemandirian” dipertahankan, proyek politik akan terus dijalankan, dan kita tinggal menunggu kabar kehancuran.
Prosedur lapangannya pasti akan sama dengan yang mereka lakukan di Sumatra: mengklasifikasi hutan sebagai lahan menganggur, mengeluarkan konsesi, menjanjikan perbaikan nantinya, dan monggo dijalankan.
Papua harus dibela dari penjarahan. Pemerintahan ini akan senang memanfaatkan kebingungan publik, memancing keributan terus-menerus dengan isu apa saja (selalu ada orang membuat pernyataan tolol setiap hari), dan proyek apa pun akan meluncur mulus tanpa pengawasan berarti.
Bencana Sumatera baru sebulan, bukan kejadian dua abad lalu, dan lukanya masih basah. Jika itu diabaikan, Papua adalah babak berikutnya.
#SavePapuaForest
#BahayaDeforestasi







Komentar