Presiden Prabowo Subianto memunculkan wacana besar yang kini jadi buah bibir: merampingkan jumlah badan usaha milik negara (BUMN) dari sekitar 1.000 entitas menjadi hanya 200–240 perusahaan. Di balik gagasan yang tampak teknokratis ini, tersimpan potensi efisiensi fiskal yang luar biasa—namun juga risiko korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan jika tidak dijalankan secara transparan.
Rasionalisasi BUMN: Antara Niat Baik dan Peluang Baru
Dalam forum internasional Forbes Global CEO Conference 2025, Prabowo menyatakan keinginan untuk memangkas jumlah BUMN agar lebih efisien dan kompetitif. Arahan tersebut ditujukan kepada Badan Pengelola Investasi Danantara, lembaga baru yang kini menjadi poros pengawasan dan restrukturisasi BUMN di bawah kepemimpinan pemerintahannya.
Secara konseptual, gagasan ini masuk akal. Banyak BUMN yang selama bertahun-tahun tidak memberikan dividen, justru terus menyedot subsidi, dan menjadi beban bagi APBN.
Pemangkasan yang serius berpotensi menghemat antara Rp 200 hingga Rp 800 triliun per tahun, terutama dari pengurangan biaya manajemen, subsidi publik service obligation (PSO), serta penghapusan pos-pos “overhead” yang membengkak tanpa hasil konkret.
Namun, di sisi lain, restrukturisasi skala besar ini juga membuka peluang baru bagi praktik manipulatif — terutama jika aset, saham, atau unit usaha BUMN yang dilebur dialihkan tanpa mekanisme transparan. Inilah tantangan utama: memastikan reformasi efisiensi tidak berubah menjadi proyek “privatisasi terselubung”.
Menghentikan Tradisi Bonus di Tengah Kerugian
Kegusaran Presiden Prabowo atas perilaku komisaris BUMN yang tetap menerima bonus meski perusahaan merugi menunjukkan akar persoalan yang lebih dalam: krisis moral dan akuntabilitas dalam tata kelola BUMN.
Dalam beberapa kasus, komisaris yang hanya hadir sebulan sekali bisa menerima tantiem hingga Rp 40 miliar per tahun. Prabowo pun menyebut praktik semacam ini “brengsek bener itu” dan meminta Kejaksaan Agung serta KPK menelusuri para pejabat yang masih melakukan hal serupa.
Instruksi untuk menghentikan pembayaran bonus bagi direksi dan komisaris di perusahaan yang merugi menjadi sinyal kuat bahwa reformasi kali ini bukan sekadar restrukturisasi administratif, tetapi juga upaya moral untuk mengembalikan rasa keadilan dalam pengelolaan aset negara.
Potensi Hemat Ratusan Triliun, Tapi Perlu Biaya Transisi
Jika 60–80% entitas BUMN non-produktif berhasil digabung atau dilikuidasi, negara bisa menghemat ratusan triliun rupiah setiap tahun.
Namun, proses ini juga memerlukan biaya restrukturisasi: mulai dari pesangon, audit aset, integrasi sistem manajemen, hingga potensi konflik hukum dengan mitra swasta. Jika tidak dikelola hati-hati, penghematan di satu sisi bisa tergerus oleh biaya transisi di sisi lain.
Kunci keberhasilan terletak pada transparansi, audit independen, dan keterlibatan publik. Reformasi tanpa kontrol publik hanya akan menambah daftar panjang “reformasi gagal” di negeri ini.
Catatan Akhir
Prabowo tampaknya menyadari bahwa efisiensi ekonomi tak bisa dicapai hanya dengan pidato dan semangat nasionalisme. Diperlukan keberanian untuk membongkar sistem insentif yang salah kaprah—di mana kegagalan justru diberi bonus, dan kerugian ditutup dengan retorika.
Pemangkasan BUMN bisa menjadi langkah monumental menuju kemandirian ekonomi nasional, jika dan hanya jika dijalankan dengan integritas.
Tapi tanpa pengawasan publik, ia bisa berubah menjadi pintu baru bagi korupsi berbalut reformasi.
Dan sejarah menunjukkan: pintu semacam itu sering terbuka lebar di republik ini.
Catatan Kaki:
- CNBC Indonesia, “Prabowo Bakal Pangkas Jumlah BUMN dari 1.000 Jadi 200”, 15 Oktober 2025.
- Tempo.co, “Prabowo Perintahkan Danantara Rasionalisasi BUMN”, 16 Oktober 2025.
- Bisnis.com, “Mengulik Laporan Keuangan BUMN 2023: Aset Tumbuh 6,26%”, 24 September 2024.
- DetikFinance, “Prabowo Sentil Komisaris BUMN Raup Bonus Saat Rugi: Brengsek Bener Itu!”, 2 Oktober 2025.
- Fajar.co.id, “Presiden Prabowo: BUMN Rugi Tapi Tebar Bonus, Mau Kirim ke KPK dan Kejaksaan”, 3 Oktober 2025.







Komentar