Setalah pasang badan untuk woosh kini prabowo harus klarifikasi terkait dirinya yang diduga kuat masih dalam pengaruh jokowi, bukan percaya publik justru menilai ini tanda ia menjadi orang yang memang benar dalam pengaruh jokowi.
“Gak pernah itu Jokowi nitip apa-apa sama saya.”
Kalimat itu meluncur tegas dari mulut Presiden Prabowo Subianto, seolah ingin menutup segala tudingan bahwa ia berada di bawah bayang pengaruh Joko Widodo. Tapi publik, yang sudah kenyang dengan sandiwara politik, hanya bisa tersenyum simpul. Sebab di kursi sebelahnya, duduk tenang seorang Wakil Presiden bernama Gibran Rakabuming Raka.
Sejak awal, Prabowo memang tampak pasang badan untuk warisan Jokowi. Ia menanggung utang proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (Whoosh), yang oleh sebagian publik dianggap sebagai monumen ambisi masa lalu. Dalam pidatonya, Prabowo menyebut siap membayar cicilan Rp 1,2 triliun per tahun demi menjaga kredibilitas negara. Sebuah langkah berani atau barangkali justru bentuk lain dari loyalitas yang tak terucap.
Pernyataan itu muncul tak lama setelah muncul narasi bahwa Prabowo kian dikendalikan oleh bayang istana lama. Jokowi, yang kini tanpa jabatan, tetap punya jaringan dalam dan luar pemerintahan. Beberapa menteri era Jokowi masih bercokol di kabinet Prabowo. Nama-nama lama yang dulu mengabdi di bawah “Jokowinomics” kini sekadar berganti seragam dari loyalis lama menjadi teknokrat baru.
Di permukaan, Prabowo ingin tampil sebagai pemimpin mandiri. Tapi dalam politik Indonesia, kemandirian tak pernah datang gratis.
Ia mewarisi struktur kekuasaan yang dibangun selama satu dekade — dari proyek raksasa hingga jejaring birokrasi yang masih tunduk pada figur lama. Dengan kata lain, Jokowi mungkin sudah turun panggung, tapi panggungnya belum benar-benar dibongkar.
Ketika Prabowo berkata ia tak pernah dititipi apa-apa, publik tentu berhak bertanya: kalau bukan titipan, lalu apa sebutan yang pas untuk keberadaan Gibran di kursi wakil presiden? Sebuah kehadiran yang lahir bukan dari proses politik biasa, melainkan dari hasil “toleransi” Mahkamah Konstitusi yang kala itu dipimpin paman sang calon.
Di sini letak dilema terbesar Prabowo: bagaimana meyakinkan rakyat bahwa ia bukan perpanjangan tangan Jokowi, sementara setiap kebijakannya masih berkelindan dengan jejak sang pendahulu?
Proyek-proyek infrastruktur tetap dilanjutkan. Nama-nama lama tetap bertahan. Narasi “stabilitas” terus diulang, seolah perubahan adalah ancaman.
Barangkali Prabowo memang tidak dititipi secara eksplisit. Tapi dalam politik, pengaruh tidak selalu datang dalam bentuk pesan berantai atau bisikan di telinga. Kadang ia hadir dalam bentuk warisan kebijakan, loyalitas pejabat, atau kepentingan ekonomi yang tak mudah diurai. Dan di situ, bayangan Jokowi masih menempel kuat di punggung sang presiden baru.
Publik tentu berharap Prabowo menjadi presiden yang berdiri di atas kakinya sendiri bukan sekadar penjaga warisan atau pelindung masa lalu. Tapi jika setiap kritik pada era sebelumnya malah disapu dengan kata “jangan dipolitisasi”, maka bangsa ini akan terus hidup dalam sisa-sisa kekuasaan yang sama: lama berganti baju, tapi tak pernah sungguh berubah.







Komentar