PLUS MINUS SOEHARTO

“Master of the Game”
Jejak Lenggang Politik Soeharto

Bayangkan seorang pemain catur yang genius. Di papan politik Indonesia, Soeharto adalah grandmaster sejati. Selama 32 tahun berkuasa, langkah-langkahnya penuh perhitungan, dari naiknya ke puncak hingga akhirnya turun tahta. Bagaimana ia membangun dan mempertahankan kekuasaannya?

Soeharto naik bukan dengan teriakan “Merdeka!”, melainkan dalam bayang-bayang tragedi berdarah 1965. Dengan cerdik, ia memanfaatkan kekacauan pasca-G30S. Di bawah komandonya, operasi pembersihan terhadap PKI dan simpatisannya dilancarkan, sebuah tindakan yang membuatnya dipandang sebagai penyelamat bangsa oleh banyak kalangan. Langkah ini sekaligus membersihkan papan catur dari bidak politik saingan terbesarnya.

Dari posisi yang kuat, ia kemudian dengan sistematis menyingkirkan sang maestro lama, Soekarno. Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) 1966 menjadi “kartu truf”-nya, yang memberinya wewenang luas untuk mengambil alih kendali negara. Dalam hitungan tahun, transisi kekuasaan pun rampung dari Jenderal menjadi Penjabat Presiden, lalu Presiden penuh.

Setelah kursinya kokoh, Soeharto membangun sistem kekuasaannya yang disebut Orde Baru dengan tiga pilar utama:

  1. Ia menempatkan militer (ABRI) bukan hanya sebagai pelindung negara, tetapi juga sebagai alat politik melalui doktrin Dwifungsi ABRI. Dari tingkat pusat hingga desa, jaringan komando teritorial berfungsi sebagai mata dan telinga rezim, memastikan setiap suara oposisi bisa diredam sebelum menjadi nyaring.
  2. Soeharto adalah arsitek sistem korupsi yang terinstitusionalisasi. Bayangkan sistem waralaba (franchise) di mana para jenderal dan pejabat diberi “wilayah” bisnis untuk dikelola. Sebagai imbalannya, mereka harus menyetor sebagian keuntungan dan, yang terpenting, loyalitas mutlak kepada “bos besar”. Keluarganya pun tak ketinggalan, membangun kerajaan bisnis yang membuat kekayaan mereka membumbung tinggi.
  3. Di permukaan, Indonesia adalah demokrasi. Namun, pemilu saat itu lebih mirip pesta demokrasi terkelola. Golkar selalu menang telak, sementara partai oposisi “dipangkas” taringnya. Citranya sebagai “Bapak Pembangunan” dibangun dengan gemilang. Pertumbuhan ekonomi yang pesat dan swasembada pangan memberinya legitimasi di mata rakyat. Siapa yang akan protes ketika perut mereka kenyang?

Di akhir 1980-an, sebuah perubahan strategi besar terjadi. Setelah sekian lama menjaga jarak dan bahkan kerap bersikap represif terhadap kelompok Islam, Soeharto tiba-tiba membalik haluan.

Apa yang terjadi? Rupanya, hubungannya dengan orang kepercayaannya, Jenderal Benny Moerdani, yang beragama Katolik, mulai retak. Dengan meminggirkan Benny, Soeharto kehilangan satu pilar penting di tubuh militer. Ia butuh basis dukungan baru, dan matanya tertuju pada kekuatan politik Islam yang selama ini ia tekan.

Maka, dimulailah sebuah “charm offensive” besar-besaran. Pada 1991, ia dan istri menunaikan ibadah haji, dan sejak itu ia kerap disapa “Haji Mohammad Soeharto”. Kebijakan pelarangan jilbab di sekolah negeri yang kontroversial pun dicabut. Puncaknya, ia mendukung penuh pendirian Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang dipimpin oleh B.J. Habibie. Langkah ini berhasil merangkul banyak cendekiawan dan kelompok Islam modernis, meski tidak semua, karena tokoh seperti Gus Dur dari NU tetap bersikap kritis.

Namun, tidak ada kekuasaan yang abadi. Pada 1997, badai krisis finansial Asia menghantam Indonesia. Nilai rupiah terjun bebas, perekonomian kolaps, dan rakyat menjerit. Janji “Pembangunan” Soeharto runtuh dalam sekejap.

Gelombang protes mahasiswa dan rakyat yang menuntut reformasi bergulir tak terbendung. Kerusuhan sosial merebak. Dalam situasi genting itu, dukungan dari para jenderal pun mulai luntur. Pada 21 Mei 1998, sang grandmaster akhirnya mengakui kekalahannya. Soeharto mengundurkan diri, mengakhiri satu babak panjang dalam sejarah Indonesia.

Hari ini, warisan Soeharto masih menjadi bahan perdebatan. Di satu sisi, ia dikenang sebagai bapak pembangunan yang membawa stabilitas dan kemajuan ekonomi. Di sisi lain, ia adalah simbol rezim otoriter dengan catatan pelanggaran HAM yang kelam dan korupsi yang menggurita.

Pergeseran politiknya di akhir kekuasaan, dari sekuler-merangkul-Islam, adalah bukti kelincahannya sebagai politisi. Namun, langkah itu juga menunjukkan sifat kekuasaannya yang pragmatis yaitu tidak ada kawan atau lawan abadi, yang ada hanya kepentingan yang harus terus dipertahankan.

Dan pada akhirnya, tidak ada manuver politik yang bisa menyelamatkannya ketika fondasi ekonomi dan kepercayaan rakyat telah ambruk.

(M Maki)

Komentar