Ketika Menteri Agama Melecehkan Agamanya Sendiri
Oleh: Nuim Hidayat
Setelah meluncurkan Kurikulum Cinta yang mendorong ‘penyamaan agama’, kini Menteri Agama Nasaruddin Umar membuat kontroversi lagi. Ia menyatakan akan melakukan Natal Bersama di kantornya Kementerian Agama RI pada perayaan Natal tahun ini.
Ia menyatakan,” “Instansi lain melakukan Natal Kristiani, Natal Katolik, masa Kementerian Agama-nya nggak? Selama ini kan ada Natal Kristen, Natal Katolik, tapi Natal Kementerian Agama-nya tidak ada. Nah, tahun ini kita akan membuat sejarah di Kementerian Agama.”
Rencana Menteri Agama melakukan Natal Bersama di Kementerian Agama ini adalah langkah yang berbahaya. Kebijakan ini bisa diikuti oleh Kemenag daerah baik provinsi, kota maupun kabupaten. Dan apabila ini terjadi, maka Nasaruddin telah membuat kerusakan yang besar pada agamanya sendiri.
Polemik tentang Natal Bersama pernah meledak pada tahun 1981. Pemerintah ketika itu mendorong konsep perayaan bersama sebagai simbol kerukunan. Namun, HAMKA dalam kedudukannya sebagai Ketua MUI justru mengeluarkan fatwa bahwa menghadiri Natal Bersama adalah haram bagi umat Islam.
HAMKA menilai kehadiran seorang Muslim dalam acara tersebut dapat menimbulkan pengakuan simbolik terhadap aspek-aspek teologis agama lain. Dalam pandangannya, toleransi tidak boleh mencampai batas yang mencederai tauhid.
Ketegangan antara pemerintah dan MUI pun memuncak. Pemerintah meminta fatwa itu dicabut. HAMKA menolak. Daripada mengubah pendiriannya, HAMKA memilih mundur dari kursi Ketua MUI—sebuah tindakan yang hingga kini dikenang sebagai salah satu sikap keberanian intelektual terbesar ulama Indonesia.
Para ulama telah membahas tentang keharaman mengikuti perayaan hari besar agama lain (termasuk Natal). Ibnu Taimiyah (1263–1328 M) dalam karyanya Iqtidha’ Shirath al-Mustaqim Mukhalafata Ashab al-Jahim, menyatakan, ”Tidak halal bagi seorang Muslim menghadiri hari raya mereka, atau membantu mereka dalam sedikit pun dari urusan hari raya itu. Karena itu termasuk mengagungkan syiar kekufuran.” Ia juga menyatakan, “Menghadiri perayaan mereka lebih buruk hukumnya daripada menghadiri majlis khamr atau maksiat lain.”
Ulama mazhab Imam Malik bin Anas menyatakan, “Aku membenci bagi Muslim menghadiri perayaan orang-orang Nasrani. Karena itu bentuk meninggikan syiar mereka.” Sementara itu, Imam Ahmad bin Hanbal menegaskan, “Siapa yang memberikan hadiah kepada orang Nasrani pada hari rayanya, sebagai ikut serta dalam rayanya, maka ia telah jatuh dalam dosa besar.”
Imam Al-Hafizh al-Dzahabi menyatakan,““Jika orang Yahudi dan Nasrani mempunyai suatu perayaan, maka itu khusus bagi mereka. Seorang Muslim tidak boleh mengikuti atau menyerupai mereka.”
Ulama besar KH. Hasyim Asy’ari dalam Risalah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, menyatakan, “Tasyabbuh dengan orang kafir dalam syiar keagamaan mereka adalah haram secara ijma’.”
HAMKA dalam fatwanya tentang Natal Bersama menyatakan, “Menghadiri perayaan Natal adalah haram, karena di dalamnya terdapat unsur pengakuan atau pembenaran atas keyakinan Trinitas.” Ia juga menegaskan, “Toleransi tidak boleh memaksa seorang Muslim menggadaikan akidah.”
HAMKA menjelaskan ajakan kepada umat Islam untuk merayakan Natal Bersama ataupun sebaliknya merupakan tindakan intoleran. Sebab itu sama saja dengan upaya pemaksaan keyakinan dan pemahaman, secar langsung maupun tidak.
Wallahu ‘alimun hakim.






Komentar