Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.
Pada saat penulis memenuhi undangan Aiman Witjaksono di program ‘RAKYAT BERSUARA’ di Studio Inews TV (Selasa, 11/11/2025), penulis menyampaikan pentingnya prosedur dan substansi harus dijalankan secara benar. Lalu, penulis memberikan ilustrasi kasus sengketa baju zirah (baju perang) Imam Ali RA (Khalifah ke-empat kaum muslimin).
Dalam kasus tersebut, Amirul Mukminin Khalifah Ali Karomallau Wajhah, dikalahkan oleh Qadhi Suraih, meskipun beliau adalah pemilik baju zirah tersebut. Bahkan, beliau adalah kepala Negara Khilafah yang berperkara dengan seorang Yahudi rakyat jelata.
Pertimbangan Qadhi Suraih sederhana:
Pertama, baju zirah ada pada si Yahudi. Asumsinya, yang memegang barang adalah pemiliknya.
Kedua, Imam Ali mengklaim sebagai pemilik. Kaidahnya, siapa yang mendakwa dia harus membuktikan.
Ketiga, Iman Ali menghadirkan kedua puteranya Hasan dan Husein, untuk membuktikan baju zirah tersebut miliknya.
Keempat, dalam hukum acara (prosedur) Islam, saksi yang ada hubungan keluarga tidak diterima keterangannya. Maka keterangan Hasan dan Husein ditolak oleh hakim/Qadhi.
Kelima, alhasil Qadhi Suraih memutus baju zirah tersebut milik si Yahudi, dan Imam Ali dikalahkan.
Coba bayangkan, betapa adilnya hukum Islam. Meskipun bersengketa dengan Khalifah, si Yahudi rakyat jelata dapat memenangkan perkara. Diantara sebab menangnya perkara, karena imam Ali menghadirkan saksi yang tidak diakui dalam prosedur pembuktian, yakni saksi yang masih punya hubungan keluarga, Hasan dan Husein.
Walaupun, belakangan karena keadilan prosedur beracara dalam hukum Islam itulah, Yahudi tersebut masuk Islam. Dan menyerahkan baju zirah tersebut, mengakui bahwa baju tersebut milik Imam Ali.
Kasus Ijazah Jokowi
Dalam konteks kasus ijazah palsu Jokowi, penulis menggunakan ilustrasi kasus imam Ali untuk menjelaskan kasus Jokowi. Saat ini, penyidik mengklaim memiliki 7000 bukti lebih, memeriksa 130 saksi dan mengambil keterangan 22 ahli. Padahal, yang dibutuhkan hanya satu bukti, yakni ijazah asli.
Ijazah asli inilah, yang tak pernah muncul. Sehingga, tidak bernilai ratusan bukti lainnya, jika ijazah asli tidak dihadirkan.
Polisi mengklaim telah menyita, tapi barang tersebut tidak pernah ditunjukan. Bahkan, dalam kesempatan lain polisi menyatakan barang sitaan ijazah tersebut hanya berupa foto copy.
Soal penyelundupan pasal, penulis juga membantah pernyataan Boni Hargens, yang dalam pandangan awal menyatakan tidak terlalu mempersoalkan/peduli dengan masalah/prosedur pasal-pasal. Padahal, adanya pasal selundupan yang ancaman pidananya lebih dari 5 tahun (Pasal 160 KUHP, 28 ayat 2 UU ITE, Pasal 35 UU ITE dan Pasal 32 UU ITE) bisa berdampak pada perampasan kemerdekaan anak bangsa pada proses penyidikan.
Namun alhamdulilah, akhirnya Roy CS tidak ditahan. Atas doa dan dukungan rakyat yang meluas, polisi tidak menggunakan wewenang subjektifnya untuk menahan Roy Suryo dkk.
Alhasil, penulis kembali menegaskan. Prosedur pembuktian kasus Roy Suryo cs sangat penting, sama pentingnya dengan membuktikan ijazah Jokowi asli. Karena itu, buktikan dulu ijazah Jokowi asli, baru bisa menuduh yang menyatakan palsu sebagai fitnah dan pencemaran.(*)







Komentar