Oleh: Nuim Hidayat
Ketika Raja Faisal naik tahta (1964), Ikhwanul Muslimin mendapat tempat istimewa di Saudi. Banyak tokoh-tokoh Ikhwan yang mengajar di Universitas Saudi dan merintis kegiatan intelektual di sana.
Tapi kini kondisinya lain. Sejak Maret 2014, Kementerian Dalam Negeri Saudi secara resmi memasukkan jamaah Ikhwanul Muslimin (IM) dalam daftar organisasi teroris.
Saudi secara terstruktur kemudian gencar melakukan sosialisasi kesesatan Ikhwanul Muslimin melalui media-medianya. Juga diadakan sosialisasi di seminar-seminar dan kampus penting di Saudi, seperti Universitas Islam Madinah, Universitas Imam Muhammad Ibn Saud Riyadh dan lain-lain. Buku-buku Ikhwan kini juga sulit didapati di universitas-universitas milik Saudi.
Bagi yang mengetahui sejarah pendirian kedua universitas di atas, hal ini tentu saja mengherankan. Sebab, para tokoh Ikhwanul Muslimin justru berperan penting dalam mendirikan universitas-universitas tersebut. Menuduh IM sebagai organisasi teroris sama saja dengan mengatakan bahwa universitas-universitas di Saudi dibangun oleh tokoh-tokoh teroris.
Tentunya sebuah pertanyaan besar kenapa tokoh-tokoh IM sebegitu dihormati dan dimuliakan di Saudi sebelum Perang Teluk dan Arab Spring lalu tiba-tiba Kerajaan Saudi Arabia menganggap mereka sebagai teroris setelah tahun 2014?
Kedekatan Ikhwan dan Saudi pasca merdekanya negara-negara Arab dari kolonialisme Barat, tak bisa dipisahkan dari merebaknya ideologi sosialisme dan Pan Arabisme di Timteng waktu. Itu bisa dilihat dengan berkuasanya Partai Baats di Suriah, Irak dan sosialisme-nasionalisme Arab Gamal Abdul Nasser di Mesir. Ikhwan yang kemudian diberangus Gamal, menemukan tempat suaka yang nyaman di Saudi. Dimana dalam waktu bersamaan Saudi juga terancam ideologi Pan Arabisme yang digaungkan Gamal Abdul Nasser.
Pan Arabisme ini berbenturan dengan Pan Islamisme yang didukung Ikhwanul Muslimin dan Arab Saudi. Liga Muslim Dunia, WAMY dan organisasi-organisasi lain dibentuk IM dan Saudi, untuk membendung Pan Arabisme. Selain itu, organisasi-organisasi ini dibentuk untuk menyatukan dunia Islam dan mendukung Palestina.
Taufik Yusuf Njong dalam bukunya “Pasang Surut Hubungan Arab Saudi Ikhwanul Muslimin” (HarakahBooks, 2021) membagi sejarah Saudi dalam tiga periode.
Fase pertama, dimulai dari era pendirinya, King Abdul Azis dan penerusnya Raja Saud bin Abdul Aziz. Fase ini berlangsung kurang lebih berlangsung 32 tahun. Mulai dari 1932 sampai 1964 ketika Raja Saud dicopot dari jabatannya. Di fase ini Saudi mempunyai hubungan baik dengan Syekh Rasyid Ridha, Sayid Muhibuddin al Khatib dan lain-lain.
Fase kedua, adalah fase ketika Raja Malik Faisal naik tahta. Faisal memerintah Saudi mulai 2 November 1964 sampai 25 Maret 1975. Ia dibunuh oleh keponakannya, yaitu Faisal bin Musaid. Fase ini adalah fase paling mesra hubungan Saudi dan Ikhwan. Di fase ini, tokoh-tokoh Ikhwan menjadi penasihat kerajaan, menjadi dekan dan dosen di universitas-universitas Saudi. Mereka yang membuat kurikulum di universitas-universitas Saudi. Mereka juga menjadi pembimbing dan penguji disertasi mahasiswa dan lain-lain.
Di era ini Rabithah Alam Islami menjadi sarana bagi Ikhwan untuk mengampanyekan isu Palestina dan problematika dunial Islam lainnya. Kemudian WAMY sebagai organisasi pemuda Islam, digunakan Ikhwan untuk mengader para pemuda di seluruh dunia. Fase ini berlangsung kurang lebih selama 27 atau 28 tahun. Mulai dari Raja Faishal, Raja Khalid dan paruh pertama pemerintahan Raja Fahd, hingga Perang Teluk kedua tahun 1990-1991.
Fase ketiga adalah fase setelah Perang Teluk. Dimana saat itu Ikhwan mengritik Kerajaan Arab Saudi yang meminta bantuan Amerika untuk menghajar Saddam Husein yang menyerang Kuwait. Perang Afghanistan yang telah usai juga membuat peran Ikhwan di Saudi ditinjau kembali. Termasuk kembalinya eks Mujahidin Arab dari Afghan. Hubungan Saudi dan Ikhwan memburuk pasca Arab Spring dan kemudian menjadi permusuhan terang-terangan era Raja Salman dan Putra Mahkota Mohammad bin Salman.
Sebagai sebuah negara, Saudi ada baik dan buruknya. Saudi cukup banyak berjasa dalam mendirikan masjid-masjid di banyak negara Islam, memberikan beasiswa kepada pemuda Islam di seluruh dunia dan lain-lain. Meskipun ada yang menganggap bahwa itu adalah dalam rangka penyebaran ideologi Wahabisme di negara-negara Sunni yang mayoritas bermazhab Asy’ari dalam akidah.
Taufik Yusuf menjelaskan, ia pernah dikirimi beberapa foto seminar tentang kesesatan Ikhwan di Universitas Islam Madinah oleh temannya yang belajar di sana. Seminar yang temanya hampir sama juga diadakan di universitas-universitas lain di Saudi, seperti di Al Imam Muhammad ibn Saud University di Riyadh dan lain-lain.
Sekitar tahun 1961, Abul A’la al Maududi diundang Kerajaan Saudi untuk menjelaskan proyek pendirian Universitas Islam Madinah. Maududi dikenal pemikirannya dekat dengan Ikhwan. Pada Desember 1961, tokoh Islam Pakistan ini menjelaskan kepada tokoh-tokoh dan ulama tentang pentingnya universitas. Ia bermusyarah dengan mereka, hingga kemudian disepakati kurikulum universitas itu. Syekh Maududi terpilih sebagai salah seorang majelis (pendiri) universitas itu.
Pemikiran Maududi dan Sayid Qutb adalah mirip. Qutb banyak mengambil pemikiran Maududi ketika menafsirkan tentang ayat-ayat jihad. Maududi merasa lehernya seperti tercekik pada hari Sayid Qutb dihukum mati oleh Gamal Abdul Nasser.
Namun sayangnya, menurut Taufik Yusuf, jika hari ini kita menanyakan kepada sebagian atau bahkan sebagian besar para penuntut ilmu di Universitas Islam Madinah, mereka dengan bersemangat mengatakan bahwa keduanya adalah sesat menyesatkan.
🔴Diantara tokoh-tokoh Ikhwan dan gerakan Islam lain yang menjadi anggota dewan penasihat tertinggi pendirian Universitas Islam Madinah (UIM) adalah: Syekh Muhammad Mahmud as Shawwaf (Muraqib Am Ikhwan Irak), Syekh Ali Thanthawi, Syekh Abul Hasan an Nadawi. Ada juga Mufti Mesir Syekh Hasanain Makhluf dan Mufti Tunisia Imam Thahir Ibnu Asyur, serta tokoh-tokoh Salafi lain baik dari Saudi atau Suriah (Syekh Bajar al Baithar, Syekh Albani) dan Ustadz Mahmud Yunus dari Indonesia.
Salah satu tokoh Ikhwan Irak yang menduduki jabatan penting di Universitas Islam Madinah adalah Syekh Akram Dhiya al Umri. Ia menjabat sebagai Ketua Post Graduate Education dan Ketua Majelis Ilmi selama enam tahun dan tugas-tugas lainnya.
Ada juga tokoh Ikhwan Mesir seperti Syekh Muhammad Ali Jarisyah dan lain-lain yang mengajar di Fakultas Syariah UIM selama bertahun-tahun. Juga Syekh Manna’ Khalil Qathan yang menguji puluhan disertasi doktoral. Universitas Islam Madinah pada tahun 70-90 an didominasi tenaga pengajar non Saudi. Barulah kemudian setelah perang teluk kedua, dimulai Saudinisasi.
🟢Di Universitas Ummul Qura, ada Syekh Muhammad al Ghazali, Syekh Sayid Sabiq dan lain-lain. Di Universitas King Abdul Aziz Jeddah, ada Syekh Abdullah Nasih Ulwan dan Ustadz Muhammad Qutb (adik Sayid Qutb), Syekh Abdullah Azzam dan lain-lain. Termasuk Syekh Said Hawwa, Dr Munir al Ghadban (Muraqib Aam Ikhwan Suriah yang keenam), Syekh Muhamad Surur bin Nayif Zainul Abidin (yang kemudian dikenal sebagai pendiri Salafiyah Sururiyah), Syekh Fathi al Khauli dan lain-lain.
Banyaknya tokoh-tokoh Ikhwan yang mengajar dan menguasai lembaga-lembaga pendidikan di Saudi memberi pengaruh yang sangat besar bagi generasi Saudi yang menimba ilmu dekade 60 sampai 90-an. Bahkan kitab-kitab Sayid Qutb, Muhammad Qutb, Abdul Qadir Audah, Muhammad Surur dan tokoh-tokoh Ikhwan dicetak oleh Wizarah al Maarif atau Kementerian Pendidikan Saudi, menjadi kurikulum atau dibagi secara gratis ke dunia Islam yang lain. Dukungan yang kuat dari Penguasa Saudi terhadap Ikhwan sebelum Perang Teluk II menjadikan konflik Ikhwan-Wahabisme cenderung bisa diredam.
Pasca Arab Spring (2011), sekadar respek terhadap Ikhwan dianggap menjadi ancaman nasional yang bisa menyebabkan seseorang dipecat dari jabatannya sebagai dosen, PNS atau Imam dan Khatib masjid Saudi. Bahkan bisa mengantarkannya dalam gelapnya penjara. Dukungan Ikhwan terhadap demokratisasi di Timteng, mengkhawatirkan kerajaan Saudi.
Raja Faishal memang berjasa besar dalam pengembangan pemikiran Ikhwanul Muslimin di Arab dan dunia Islam lainnya. Raja Faishal pernah memberikan penghargaan ke tokoh-tokoh Islam, seperti Abul A’la Maududi dan Mohammad Natsir. Tahun 1967, Stasiun BBC mewawancarai Raja Faishal dan menanyakan padanya, ”Apa peristiwa yang ingin Anda lihat di kawasan Timur Tengah?” Dengan lugas, Raja Faishal menjawab, ”Yang paling utama dari semuanya adalah hilangnya negara Israel (dari muka bumi).”
Buku ini juga menjelaskan mengapa Hamas –yang lahir dari Ikhwan- bekerja sama dengan Iran melawan Israel, perebutan pengaruh Saudi dan Iran di kawasan Timteng, donasi Saudi yang besar terhadap mujahidin Afghanistan, di balik narasi Islam moderat Arab Saudi, masa depan Saudi dan Ikhwan dan lain-lain. Rujukan kitab-kitab berbahasa Arab, menjadi nilai tambah buku ini. Meski hanya 156 halaman, sayang bila buku ini anda lewatkan. Wallahu alimun hakim.
(Sumber: SuaraIslam)






Komentar