Oleh: Erizal
Partai besar pecah, masih mendingan. Partai kecil pecah, keterlaluan. Partai besar kompak dan akur, hebat. Partai kecil bercerai-berai dan rusuh, gawat.
Partai besar tenang, hati-hati, bisa jadi api dalam sekam. Sewaktu-waktu bisa terbakar. Terbakarnya belum ketahuan efek kerusakannya. Kerusakannya masih tertutup.
Partai kecil gaduh, belum tentu terlalu buruk, sebab keburukannya sudah lebih dulu terbakar, sudah ketahuan efek kerusakannya, sudah terbuka. Tinggal memperbaikinya saja.
Celakanya, justru kalau tak mau saling memperbaiki. Inginnya sendirian saja memperbaiki, padahal perbaikan itu sebenarnya membutuhkan bantuan banyak orang.
Muktamar PPP rusuh, itu puncaknya. Sudah banyak yang memperkirakan akan terjadi hal yang seperti itu. Kalau masih ada puncaknya, selain yang terjadi di Muktamar itu, maka jangan berharap PPP akan bisa kembali ke Senayan.
Justru PPP akan semakin kecil dan hilang terbukur bersama partai kecil lainnya. PPP membutuhkan tenaga bantuan dari luar seperti yang digembar-gemborkan Romahurmuzy, juga ada benarnya. Istilahnya tokoh sekaligus toke.
Tapi PPP harus yakin dengan kekuatan sendiri untuk bangkit, juga tidak salah. Mana pula ada orang dari luar mau sungguh-sungguh memperbaiki rumah kita kalau tak ada maunya? Dua ide ini seharusnya disatukan saja.
Mardiono merasa masih bisa memperbaiki keadaan dan mengembalikan PPP ke Senayan. Perasaan ini bagus sebagai modal perbaikan ke depan. Tapi ada pihak yang merasa Mardiono sudah tak sanggup lagi memperbaiki keadaan, apalagi mengembalikan PPP ke Senayan.
Pihak itu diwakili katakanlah kubu Romahurmuzy. Romahurmuzy sebelumnya memang sudah terlihat menjual kesana-kemari gagasannya tentang perbaikan PPP ke depan.
Bahkan, ada yang mengatakan Romahurmuzy tidak sedang menjual gagasannya, tapi menjual PPP itu sendiri. Padahal, baik kubu Mardiono maupun Romahurmuzy, punya andil yang sama atas keterpurukan PPP saat ini.
Agus Suparmanto boleh dikatakan orang yang ditemukan Romahurmuzy. Sudah banyak nama yang dicari, tapi tak ada yang berjodoh. Ada yang mau, tapi PPP-nya yang tak mau. Giliran PPP-nya mau, tokohnya yang tak mau.
Menteri Pertanian Amran Sulaiman, misalnya. Paling cocok jadi Ketua Umum PPP. Tapi dianya yang tak bersedia agaknya. Jangan-jangan, kalau bersedia justru posisi Menterinya akan lepas. Bagi Arman Sulaiman tentu saja lebih strategis posisi Menteri, ketimbang Ketua Umum PPP.
Sandiaga Uno terbukti tak bisa banyak menolong. Nama Agus Suparmanto pun, sebetulnya tak terlalu banyak dikenal. Tapi dinilai masih lebih mungkin ketimbang Mardiono, yang terbukti gagal
PPP terlalu terpaku membaca permainan politik Jokowi kemarin. Malah orang seperti Romahurmuzy terlihat menikmati dan merasa paling tahu.
Kalau ditimbang kesalahan politik Romahurmuzy dan Mardiono, kesalahan politik Romahurmuzy jauh lebih besar. Yang selalu mengatasnamakan PPP di publik itu Romahurmuzy, bukan Mardiono. Mardiono boleh dihitung pakai jari muncul di ruang publik, sedangkan Romahurmuzy hampir setiap saat pada waktu itu.
Tak salah PPP memutuskan mendukung Ganjar Pranowo, tapi saat Sandiaga Uno tak diambil sebagai Cawapres, mestinya PPP langsung keluar. Sayangnya, PPP justru memilih bertahan. Di situlah masalahnya. PPP tak sekalian saja berakrobat politik sampai selesai.
Pengalaman Romahurmuzy berkonflik di internal PPP terlalu panjang. Bahkan Mardiono itu sendiri simbol dari konflik internal PPP yang dimenangkan oleh Romahurmuzy melawan Suharso Manoarfa.
Romahurmuzy justru pernah berkonflik dengan Ketua Umumnya, sekaligus mentor politiknya Suryadharma Ali, saat dia menjadi Sekjen dan dia keluar sebagai pemenang.
Jadi kalau saat ini PPP dalam konflik internal lagi, maka kubu di mana ada Romahurmuzy, di situlah yang akan keluar sebagai pemenang. Apalagi di situ, ada nama Taj Yasin, putra sesepuh PPP, KH Maimoen Zubair, yang didapuk jadi Sekjen Agus Suparmanto. Tapi untuk kembali ke Senayan, belum tahu juga.
Di masa lalu, dualisme kepengurusan partai ini lazim kita dengar. Tidak saja berasal dari internal partai, tapi justru dikehendaki oleh pihak penguasa.
Kini pihak penguasa memberikan kebebasan kepada partai-partai untuk menentukan nasibnya sendiri. Malah PPP pecah sendiri. Sudah terlempar dari Senayan, berpecah pula.
Itu umpama sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sudah pasti tak akan ada yang menang kalau diteruskan berpecahnya. Satu jadi arang, satu lagi satu abu. Awal kebangkitan yang tak mudah, sebetulnya.
Di saat semua partai sudah melakukan konsolidasi internal, PPP justru bercerai-berai. Seharusnya malu dengan logo ka’bah yang dipakai di bendera partai. Partai Persatuan yang justru tak bersatu.







Komentar