✍🏻Erizeli Jely Bandaro
Pernyataan Presiden Prabowo bahwa “rakyat kini melihat reaksi cepat pemerintah dalam mengatasi musibah” menjadi sorotan publik, terutama ketika dibandingkan dengan kondisi lapangan pada bencana banjir dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
- Di saat negara membutuhkan koordinasi tangkas, laporan dari daerah justru menggambarkan sebaliknya: penanganan lambat, logistik terhambat, dan kehadiran pemerintah pusat yang tertunda.
- Di banyak lokasi, warga melakukan evakuasi secara mandiri, sementara tim BNPB dan peralatan berat baru tiba setelah 48 hingga 72 jam.
- Data korban serta kebutuhan pengungsi tidak tersampaikan dengan cepat akibat lemahnya sistem koordinasi dari tingkat desa hingga pusat.
- Status darurat tidak segera dinaikkan, membuat pemerintah daerah bekerja dengan anggaran terbatas di tengah situasi yang berkembang cepat dan tidak terkendali.
Keterlambatan ini kontras dengan benchmark internasional. PBB melalui UN-OCHA menetapkan standar emas penanganan bencana:
- Evakuasi awal dalam 1 jam,
- Tim SAR aktif dalam 6 jam,
- Bantuan logistik dasar tersedia dalam 24 jam,
- Stabilitas awal pemulihan tercapai dalam 72 jam.
Negara-negara dengan sistem kesiapsiagaan mapan menerapkan standar tersebut secara disiplin. Jepang, misalnya, mengaktifkan tim penyelamat dalam hitungan jam, bukan hari. China mengerahkan ribuan personel dalam 2–3 jam pada bencana banjir besar seperti di Henan dan Gansu. FEMA di Amerika Serikat bergerak otomatis dalam hitungan jam setelah pernyataan kedaruratan diumumkan, mengirimkan logistik melalui jalur udara dan darat.
Ketika dibandingkan dengan praktik tersebut, respons di Indonesia masih jauh dari memadai. Minimnya kehadiran alat berat di fase awal, distribusi bantuan yang tidak seragam, dan absennya pusat koordinasi lapangan yang efektif menunjukkan adanya kesenjangan besar antara narasi dan kenyataan.
Faktor struktural jelas terlihat: kapasitas BPBD daerah yang lemah, ketiadaan sistem tanggap darurat terintegrasi, dan rendahnya kesiapan menghadapi fenomena cuaca ekstrem yang kini semakin sering terjadi akibat perubahan iklim. BMKG sendiri mengakui bahwa Indonesia belum siap menghadapi siklon tropis—sebuah ancaman yang kini menjadi realitas baru kawasan Asia Tenggara.
Di tengah kondisi tersebut, pernyataan tentang reaksi cepat pemerintah harus ditempatkan secara proporsional. Pemerintah memang memiliki niat untuk bergerak cepat, tetapi niat tidak selalu terwujud dalam tindakan operasional di lapangan. Kesiapsiagaan bukanlah retorika; ia adalah kemampuan teknis yang dibangun lewat investasi, standar prosedur, dan komitmen kelembagaan yang kuat.
Untuk menghentikan siklus bencana yang selalu lebih mematikan dari yang seharusnya, Indonesia perlu memulai langkah serius: memperkuat BPBD, mengintegrasikan sistem peringatan dini, mempercepat mobilisasi logistik, dan menyesuaikan diri dengan standar kemanusiaan global yang telah terbukti efektif.
Rakyat tidak menuntut kesempurnaan.
Yang mereka butuhkan hanyalah pemerintah yang hadir lebih cepat dari berita, lebih cepat dari konferensi pers, dan terutama lebih cepat dari air bah dan tanah longsor yang merenggut nyawa mereka.
Hanya dengan itu, klaim “reaksi cepat pemerintah” dapat benar-benar dirasakan, bukan sekadar diucapkan.







Komentar