Palestina adalah kisah sederhana tentang kolonialisme dan perampasan, kata Noam Chomsky, lalu dunia membuat dan melihatnya sebagai cerita yang rumit

PALESTINA adalah kisah sederhana tentang kolonialisme dan perampasan, kata Noam Chomsky, lalu dunia membuat dan melihatnya sebagai cerita yang rumit.

Chomsky adalah penulis keturunan Yahudi yang tinggal di Amerika Serikat. Dalam banyak artikelnya, ahli bahasa dan filsafat yang mengajar di Harvard University ini tak sungkan mengecam Israel dan menunjukkan keberpihakannya kepada Palestina.

Sikap Chomsky bukan paradoks. Dunia di sekelilingnya yang bertolak belakang. Ia Yahudi, ia mendukung Palestina. Ia tinggal di Amerika, yang pemerintahannya mendukung Israel. Chomsky hanya berpihak pada kemanusiaan.

Apa yang terjadi di sana hari ini, seperti laporan koresponden Tempo dari Gaza yang menjadi topik utama pekan ini, adalah bentuk penindasan manusia kepada manusia lain. Serangan Israel pada 7 Oktober 2023 setidaknya telah membunuh lebih dari 65 ribu orang. Blokade terhadap wilayah ini menyebabkan kematian dan kelaparan massal.

Francesca Albanese, pejabat Kantor Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa, menyebut kejadian di Gaza sebagai genosida. Perempuan 48 tahun asal Italia ini memaparkan temuan investigasi atas serangan Israel dalam laporan sepanjang 27 halaman.

Paparan Albanese mengkonfirmasi kesimpulan Chomsky. Menurut dia, urusan Palestina menjadi rumit karena pemimpin banyak negara mengingkari fakta yang terjadi di Gaza. Mereka enggan mengakui adanya genosida di sana. Bahkan pidato Presiden Prabowo Subianto di PBB pada 23 September 2025 tak menyebut satu kata ini.

Akibat pengingkaran atas fakta itu, solusi penyelesaian perang di Palestina ambyar. Solusi dua negara atau pengakuan kedaulatan atas Palestina, yang hari-hari ini kembali mengemuka, menjadi hambar. Israel menolak proposal yang diajukan kepada PBB pada 1974 ini karena tak setuju atas batas-batas wilayah Palestina sebelum 1967. Faktanya, sejak tahun itu, wilayah-wilayah yang menjadi mandat Palestina terus diokupasi.

Lebih dari itu, pembahasan tentang kedaulatan Palestina menggeser fokus dari kolonialisme, genosida, dan perampasan hak menjadi sekadar pembagian wilayah. Benar kata Albanese, pembahasan kedaulatan Palestina tak menghilangkan fakta bahwa banyak nyawa warga Gaza yang hilang karena kekerasan dan kelaparan akibat blokade bantuan kemanusiaan.

Dalam prinsip perdamaian, pengakuan atas kebenaran selalu mendahului rekonsiliasi. Maka, sebelum seruan damai dalam banyak forum internasional, para pemimpin negara pertama-tama harus mengakui fakta kolonialisme. Albanese bahkan menganjurkan semua negara memutus hubungan dengan Israel, lalu duduk bersama membicarakan solusi damai. Tanpa itu, pembicaraan akan menjadi sulit dan rumit.

(Sumber: TEMPO)

Komentar