✍🏻Erizeli Jely Bandaro
Belakangan beredar narasi sensasional: Redenominasi rupiah akan membuat uang koruptor jadi kertas tak bernilai. Judul-judul clickbait memprovokasi emosi: “Koruptor panik, cash triliunan koruptor terancam lenyap!” Itu bukan sekadar keliru. Itu menyesatkan secara mendasar.
- Redenominasi adalah kebijakan moneter administratif, bukan operasi penegakan hukum.
- Ia bertujuan menyederhanakan denominasi agar pencatatan, transaksi, dan sistem pembayaran lebih efisien. Titik.
- Rp 1.000 menjadi Rp 1, nilai belinya tetap sama.
- Tidak ada penyitaan
- Tidak ada pelacakan asal-usul dana
- Tidak ada kewajiban pembuktian sumber kekayaan saat menukar uang.
- Tidak ada.
Jika pun ada masa transisi dual currency, mekanismenya murni 1:1 secara nilai, bukan seleksi moral: tunai rakyat ditukar, tunai koruptor ditolak. Itu fiksi. Negara tidak menaruh sensor etika pada mesin hitung uang Bank Indonesia. Justru—ini ironi yang jarang disuarakan—KORUPTOR adalah kelompok yang paling TIDAK TERPENGARUH oleh Redenominasi. Kenapa?
- Karena kekayaan hasil korupsi nyaris tidak pernah disimpan dalam tumpukan uang kertas di bawah kasur.
- Ia tersimpan di rekening nominee, surat berharga, properti, emas, crypto, offshore account, shell company, trust, atau safe deposit box di luar negeri.
- Semua tidak tersentuh redenominasi.
Anda ingin tahu siapa yang paling terdampak oleh kebingungan redenominasi? Bukan koruptor. Tapi? pedagang pasar yang belum sepenuhnya go-digital, masyarakat rural dan sektor informal, warung, UMKM, dan populasi non-banked, publik yang literasi moneternya masih dibentuk oleh hoaks, bukan edukasi.
Mengubah Rp 1.000 menjadi Rp 1 tidak mengubah Rp 100 miliar hasil kejahatan menjadi abu. Yang mengejar uang itu bukan kebijakan moneter, melainkan jaksa dan Polri, KPK. Itulah senjata anti-korupsi. Bukan memotong tiga nol di nominal mata uang.
Ketika isu redenominasi dipelintir menjadi “jebakan untuk koruptor”, publik diarahkan pada musuh bayangan dan solusi semu, sementara pekerjaan rumah yang besar—reformasi penegakan hukum, perampasan aset, kejar-aliran-uang, dan transparansi kekayaan—ditinggalkan dari percakapan.
Redenominasi adalah keputusan teknokratis. Pemberantasan korupsi adalah keputusan politik dan keberanian hukum. Jangan disatukan keduanya hanya demi sensasi. Korupsi dikejar lewat hukum. Bukan lewat menghapus nol di uang.
(fb penulis)







Komentar