Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan buka suara soal dugaan pemaksaan konsumsi daging anjing kepada warga binaan beragama Muslim. Kasus tersebut diduga terjadi di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Enemawira, Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara.
Kasubdit Kerja Sama Pemasyarakatan Ditjen Pemasyarakatan Kementerian Imipas, Rika Aprianti menyatakan, kasus tersebut kini tengah ditelusuri.
“Sudah dilakukan konfirmasi oleh Kantor Wilayah Kementerian Imipas Sulawesi Utara,” kata Rika pada Ahad, 30 November 2025.
Kepala Lapas Enemawira, Chandra Sudarto Simbolon hingga saat ini masih menjalani proses internal ihwal dugaan tersebut.
“Sekarang (Chandra) dalam proses pemeriksaan dan dimintai keterangan,” ujar Rika lewat pesan suara kepada Tempo.
Rika memastikan, Chandra akan mendapatkan sanksi dari Kementerian Imipas bilamana terbukti memaksa warga binaannya untuk mengonsumsi daging anjing. “Jika ditemukan ada pelanggaran akan diberikan sanksi,” ucap Rika.
Legislator Minta Copot dan Proses Secara Hukum
Sebelumnya, nggota Komisi XIII DPR RI Mafirion mengecam tindakan Kepala Lapas Enemawira, Kecamatan Tabukan Utara, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Chandra Sudarto Simbolon yang memaksa warga binaan muslim untuk makan daging anjing.
Menurutnya, tindakan Kalapas Enemawira merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia serta kebebasan beragama. Mafirion meminta Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan untuk mencopot Kalapas serta memprosesnya secara hukum.
“Tindakan Kepala Lapas memaksa warga binaan Muslim mengonsumsi makanan yang jelas dilarang dalam ajaran Islam, bukan hanya tindakan tidak pantas, tetapi juga pelanggaran hukum dan HAM. Negara wajib melindungi hak beragama siapa pun, termasuk warga binaan. Copot dan proses secara hukum,” tegas Mafirion dalam keterangan rilisnya yang diterima Parlementaria, Kamis (27/11/2025).
Mafirion menegaskan bahwa tindakan memaksa warga binaan muslim mengonsumsi makanan haram merupakan bentuk pelanggaran serius yang tidak boleh ditoleransi.
Menurutnya, sejumlah aturan hukum telah dengan jelas mengatur larangan tindakan diskriminatif maupun penodaan agama seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 156, 156a, 335, 351.
“Aturan dalam KUHP secara tegas menyebutkan bahwa perbuatan menghina atau merendahkan agama dapat dipidana maksimal hingga 5 tahun,” ungkap anggota DPR dari PKB ini.
Tindakan yang dilakukan Kalapas Enemawira juga merupakan pelanggaran UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang menyebutkan negara menjamin kebebasan memeluk agama dan menjalankan keyakinan dan apapun yang memaksa orang lain melakukan perbuatan yang bertentangan dengan agama.
“Tindakan Kalapas ini pelanggaran terhadap martabat manusia karena memaksa seseorang melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keyakinan moral dan religiusnya. Kita tidak bisa membiarkan seorang warga negara diperlakukan seperti ini. Walaupun dia seorang warga binaan, tapi dia masih memiliki hak asasi manusia yang harus tetap dilindungi. Jangan mentang-mentang dia warga binaan, maka Kalapas bisa sewenang-wenang melakukan pelanggaran. Jangan toleransi terhadap hal-hal seperti ini” katanya.
Mafirion menegaskan bahwa pelanggaran seperti ini sangat berbahaya karena terjadi di lembaga pemasyarakatan, institusi yang seharusnya menjadi tempat pembinaan, bukan tempat lahirnya tindakan sewenang-wenang.
“Lapas tidak boleh menjadi ruang bagi penyalahgunaan kekuasaan. Itu adalah bentuk penindasan dan penghinaan terhadap martabat manusia. Saya minta KemenIMIPAS segera mengambil tindakan tegas, ujar Mafirion.
Ia juga meminta aparat penegak hukum bergerak cepat agar kasus ini tidak melebar menjadi isu sosial yang lebih besar, mengingat tindakan diskriminasi agama sangat sensitif dan berpotensi memicu konflik horizontal.
Mafirion mengatakan perlindungan kebebasan beragama harus ditegakkan di semua tempat, termasuk di dalam lapas. “Konstitusi dan undang-undang kita sudah jelas. Tidak boleh ada seorang pun yang dipaksa melanggar keyakinannya. Negara harus hadir melindungi,” ungkapnya.







Komentar