MUI Mengharamkan Nikah Siri?

MUI Mengharamkan Nikah Siri?

✍🏻Ustadz Muhammad Abduh Negara

Saya belum menemukan ada teks fatwa resmi dari MUI, yang menyatakan bahwa hukum nikah siri itu haram.

Yang ada, hanya kutipan pernyataan dari Kiyai Cholil Nafis, sebagai perwakilan dari MUI, yang disampaikan oleh berbagai portal berita.

Ada juga Fatwa MUI Nomor 10 Tahun 2008, yang menyatakan, “tetapi haram jika terdapat madharrat”, yang tidak tegas menyatakan keharamannya, hanya menta’liq (menggantungkan) keharamannya pada hal lain.

Perlu dipahami, istilah “nikah siri” yang populer di negeri kita, itu berbeda dengan frasa “nikah siri” (نكاح السر) dalam literatur fiqih klasik. “Nikah siri” dalam literatur fiqih klasik, maksudnya adalah akad nikah yang tidak dihadiri saksi. “Nikah siri” semacam ini, tidak sah hukumnya, menurut jumhur fuqaha.

Adapun “nikah siri” yang populer di negeri ini, adalah akad nikah yang terpenuhi syarat dan rukunnya, sebagaimana termaktub dalam literatur fiqih, tapi tidak dicatatkan di KUA (tidak tercatat oleh negara).

Nah, jika anda mengikuti tulisan-tulisan lama saya, saya pernah menyatakan bahwa, seandainya pun nikah siri semacam ini difatwakan haram, itu adalah hal yang wajar.

Mengapa wajar? Karena ketika pernikahan tidak tercatat secara resmi oleh negara, maka akan ada banyak potensi mafsadat (kemudorotan) yang dilahirkan. Lebih-lebih, jika nikah siri itu bagian dari aktivitas poligami (pernikahan kedua, ketiga, atau keempat), yang umumnya memang begitu di negeri ini (nikah siri untuk poligami).

Diantara kemudorotannya:

  • Istri yang dinikahi siri tersebut, dan anak-anak yang lahir darinya, tidak bisa memiliki berbagai dokumen sah yang menyatakan bahwa mereka adalah istri atau anak-anak si fulan.
  • Tidak ada akta kelahiran dan tidak ada kartu keluarga, yang menyatakan bahwa fulan memiliki istri dan anak-anak tersebut.
  • Artinya, secara hukum positif di negeri ini, status si istri dan anak tersebut sangat rentan.
  • Jika si suami tidak menafkahi, dia tidak bisa dituntut karena tidak ada bukti status pernikahan.
  • Ketika si suami meninggal, bisa jadi harta warisannya hanya akan dikuasai oleh istri pertama dan anak-anaknya, yang punya bukti legal bahwa dia adalah istri sah suaminya, dan anak-anaknya adalah anak-anak sah.
  • Dan seterusnya.

Lebih lagi, negeri ini sebenarnya tidak melarang praktik poligami (yang menjadi justifikasi nikah siri), hanya saja memberikan beberapa syarat tertentu agar praktik poligami itu bisa diakui oleh negara. Anda boleh saja tidak setuju dengan syarat-syarat tersebut, tapi fakta itu menunjukkan bahwa praktik poligami masih legal di negeri ini, dan jika anda ingin berpoligami, selayaknya anda mengurus semua persyaratannya, agar pernikahan poligami anda itu tercatat secara resmi.

👉Apakah memfatwakan haramnya nikah siri semacam ini, tergolong ‘mengganti hukum Allah yang merupakan kekufuran atau minimal dosa besar’, seperti postingan yang saya baca di beranda saya?

Jawabannya, tidak, tidak sama sekali.

Seandainya anda sedikit saja memiliki nalar fiqih, anda tentu paham bahwa fatwa semacam ini bukan mengganti hukum Allah, bukan menyelisihi nash, malah ia selaras dengan nilai-nilai dan tujuan syariat, yang ingin menghindarkan umatnya dari dharar dan mafsadah, dari dizalimi oleh orang lain.

Karena itu, jika memang MUI secara resmi memfatwakan haramnya nikah siri di negeri ini, saya menyatakan mendukung fatwa tersebut. Namun, sampai saat ini, saya belum menemukan fatwa resmi tersebut. Wallahu a’lam.

Komentar