Pada 12 September 2025, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) resmi merilis laporan investigasi terbaru terkait praktik penghilangan orang secara paksa yang terjadi pasca rangkaian aksi demonstrasi 25–31 Agustus 2025. Melalui Posko Orang Hilang yang dibuka sejak awal September, KontraS mencatat lonjakan signifikan laporan orang hilang yang diduga berkaitan langsung dengan tindakan represif aparat keamanan di lapangan.
Laporan tersebut menegaskan, sebagian besar kasus yang diterima bukanlah sekadar orang “hilang” dalam arti biasa, melainkan memenuhi unsur-unsur penghilangan paksa sebagaimana didefinisikan dalam International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance (ICPPED). Indonesia sendiri sudah menandatangani konvensi tersebut sejak 27 September 2010, namun hingga kini belum meratifikasinya ke dalam hukum nasional, sehingga perlindungan korban dan akuntabilitas pelaku masih lemah.
Dari hasil penelusuran KontraS, pola penghilangan paksa itu terlihat jelas. Banyak korban dilaporkan terakhir kali terlihat saat ditangkap aparat dalam kericuhan, namun keluarga dan kuasa hukum tidak pernah mendapatkan akses informasi resmi mengenai keberadaan mereka. Beberapa di antaranya bahkan diketahui sempat berada di kendaraan tak bertanda sebelum jejak mereka hilang sama sekali.
“Kasus ini bukan sekadar absensi komunikasi, tetapi jelas bentuk penghilangan paksa. Negara wajib bertanggung jawab,” tegas perwakilan KontraS dalam konferensi pers.
Fenomena ini menimbulkan keprihatinan luas di masyarakat sipil, karena mengingatkan pada praktik serupa yang pernah terjadi di masa lalu, khususnya pada periode 1997–1998. Saat itu, puluhan aktivis prodemokrasi juga mengalami nasib serupa dan sebagian tidak pernah ditemukan hingga kini.
KontraS mendesak pemerintah, khususnya Presiden dan lembaga penegak hukum, untuk segera membuka informasi mengenai keberadaan para korban, menjamin akses keluarga, serta menghentikan praktik-praktik represif yang berpotensi mengulang tragedi lama. Mereka menegaskan, tidak ada ruang bagi impunitas dalam kasus pelanggaran HAM berat.
“Frasa ‘mereka tidak hilang, mereka dihilangkan’ harus dipahami sebagai alarm keras. Jika negara membiarkan praktik ini berlanjut, maka demokrasi kita sedang berada di ujung tanduk,” pungkas laporan tersebut.







Komentar