Menebang Satu Pohon Versus Pembalakan Hutan

Menebang Satu Pohon Versus Pembalakan Hutan

✍🏻Ustadz Muhammad Abduh Negara

Ada seorang dai yang berkata, “Penebangan pohon tidak ada larangan khusus dalam Islam, toh para nabi pun banyak yang jadi tukang kayu dan ini menunjukkan mereka menebang pohon.”, dengan konteks sedang mengkritisi orang-orang yang menyalahkan aksi pembalakan hutan di Sumatra yang disinyalir menjadi penyebab bencana banjir di sana saat ini.

Membaca pernyataan sang dai ini, saya teringat dengan satu cabang ilmu yang termasuk rumpun ilmu fiqih, yaitu ilmu “al-furuq al-fiqhiyyah” (الفروق الفقهية). Ilmu ini membahas tentang analisis dua kasus fiqih yang tampak serupa, tapi hukumnya berbeda. Kadang ada dua kasus fiqih yang tampak serupa, tapi para fuqaha menetapkan hukum yang berbeda untuk keduanya, dan setelah dianalisis diketahui alasan perbedaan tersebut.

Argumen sang dai itu sangat lemah, bahkan hampir tak perlu dibantah saking lemahnya. Cuma, di sini saya menuliskannya sebagai pelajaran saja. Sang dai tidak mampu membedakan dua kasus, menebang satu dua pohon oleh seorang individu dengan peralatan sederhana, dengan aktivitas pembalakan hutan secara ‘massive’ oleh korporasi besar dengan menggunakan berbagai peralatan canggih. Yang pertama, tidak berdampak penggundulan hutan dan kerusakan lingkungan, sedangkan yang kedua sangat berdampak. Memang tidak ada nash spesifik yang menyatakan aksi penggundulan hutan itu haram, tapi ada kaidah fiqih yang sangat masyhur, yang dilandasi oleh banyak dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah, yaitu kaidah الضرر يزال (dharar harus dihilangkan), yang bisa menjadi landasan keharaman hal tersebut.

Dharar adalah suatu keadaan yang mendatangkan bahaya, kerusakan, atau kerugian, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Dalam ajaran Islam, dharar adalah segala perbuatan yang merugikan yang hukumnya haram, kecuali dalam keadaan darurat yang sangat mendesak demi menyelamatkan kehidupan. Konsep ini terangkum dalam kaidah fikih “Laa dharara wa laa dhirar” yang berarti “tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain”.

Menimbulkan dharar (bahaya) bagi satu orang saja, haram hukumnya, apalagi jika dharar tersebut menimpa banyak orang, ribuan nyawa melayang, ribuan rumah dan kendaraan rusak, mata pencaharian hilang, dan seterusnya, tentu lebih layak lagi diharamkan. Kita bisa melihat sendiri, di Sumatra sekarang, di Kalimantan, dan di banyak tempat lainnya, kegiatan pertambangan, perkebunan, dan pembangunan pemukiman, yang tidak memperhatikan aspek pelestarian lingkungan secara berkesinambungan, menyebabkan bencana banjir, longsor, dan lain sebagainya. (*)

Komentar