Indonesia lagi lagi mendapat sorotan asing, kali ini media The Guardian meliput program MBG prabowo dengan judul “Belatung di Tempe, Pecahan Kaca di Nasi: Program Makan Gratis Prabowo Didera Ribuan Kasus Keracunan”. Ini Cukup memalukan sih.
Rini Irawati tak pernah membayangkan akan melihat putrinya, Nabila, terbaring lemas dan hampir tak sadarkan diri di sebuah pos darurat di Jawa Barat. “Rasanya hati saya remuk,” ucapnya.
Semua terjadi setelah Nabila, 16 tahun, menyantap menu dari program makan gratis pemerintah di sekolahnya. Bukan hanya Nabila—sebanyak 500 siswa lain di wilayah itu juga ikut tumbang pada hari yang sama. “Seumur-umur saya belum pernah melihat kejadian seperti ini, bahkan saat Covid-19,” kata Aep Kunaepi, petugas di tempat penampungan sementara sebelum para siswa dirujuk ke rumah sakit.
Program makan gratis yang jadi kebanggaan Presiden Prabowo Subianto ini sebenarnya diluncurkan awal tahun sebagai upaya besar menekan stunting dan malnutrisi. Namun yang terjadi di lapangan justru ribuan kasus keracunan, memunculkan pertanyaan besar soal keamanan makanan yang dibagikan kepada anak-anak.
Menurut Badan Gizi Nasional (BGN), program ini kini menyuplai makan setiap hari untuk 39 juta siswa, balita, ibu hamil, hingga ibu menyusui. Targetnya melonjak menjadi 83 juta penerima pada akhir tahun.
Tapi para ahli mengingatkan: sebelum diperbesar, kualitas dan keamanannya harus benar-benar dibenahi. Di media sosial, keluhan bermunculan: tempe berbelatung, nasi berisi pecahan kaca, baki makan dicuci dengan air kotor. Sejumlah komunitas ibu-ibu bahkan menggelar aksi protes.
“Kami Akui Tidak Sempurna”
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia mencatat lebih dari 15.000 kasus keracunan yang berkaitan dengan program ini—dan tren itu belum menurun. September lalu saja, lebih dari 1.300 anak di Cipongkor, Jawa Barat, jatuh sakit. Kejadian serupa muncul di Yogyakarta, Jawa Tengah, hingga Sumatra.
Ahli gizi Tan Shot Yen menilai pemerintah terlalu mengejar jumlah penerima tanpa memastikan standar keamanan pangan terpenuhi. “Pelaksanaannya sembrono. Kalau dibiarkan, bakteri seperti salmonella dan E. coli bisa berkembang jadi masalah besar,” ujarnya.
Prabowo sendiri mengatakan kasus keracunan hanyalah “0,0017% dari lebih dari satu miliar porsi yang sudah dibagikan” dan menyebut program ini sudah meningkatkan kehadiran siswa di sekolah.
Namun tekanan publik membuat pemerintah bergerak. Prabowo menyiapkan aturan baru terkait keamanan makanan. Kepala BGN Dadan Hindayana menargetkan “nol insiden”, antara lain dengan memperbaiki standar kebersihan di dapur dan mengecilkan skala dapur besar yang dianggap berisiko. Tahun depan BGN berencana memperluas jumlah dapur menjadi 32.000 dengan anggaran yang jauh lebih besar.
Juru bicara BGN, Dian Fatwa, mengatakan penyebab keracunan umumnya berasal dari penyimpanan makanan yang salah, sanitasi buruk, atau pengiriman makanan yang terlambat. Hingga kini, BGN telah menangguhkan operasi 132 dapur dan membuka kembali 27 di antaranya setelah pelatihan ulang. “Kami akui belum sempurna, tapi kami terus memperbaiki diri,” ujarnya.
Namun angka resmi BGN—6.517 kasus hingga September—jauh lebih sedikit dibanding data LSM.
Program Terlalu Besar, Terlalu Cepat
Menurut Diah Saminarsih dari Centre for Indonesia’s Strategic Development Initiatives, perbaikan yang dilakukan pemerintah sudah terlambat. “Di satu wilayah Jawa Barat, satu dapur bisa memasak untuk 3.500 siswa. Itu mustahil diawasi satu ahli gizi,” katanya.
Ia menyoroti lemahnya aturan dan pengawasan. “Dengan anggaran sebesar ini, siapa yang bertanggung jawab kalau anak-anak keracunan?”
Peneliti politik Made Supriatma dari ISEAS-Yusof Ishak Institute menilai program ini awalnya dijual sebagai pencapaian cepat 100 hari Prabowo, tetapi berbalik menjadi masalah politik. “Publik kesal. Program ini membawa perhatian buruk.”
Ia juga mengkritik keterlibatan aparat kepolisian dan militer dalam mengelola sebagian dapur, yang menurutnya menunjukkan kemunduran praktik demokrasi. Pemerintah sebelumnya membantah tuduhan ini.
Egi Primayogha dari Indonesia Corruption Watch menambahkan, “Ini salah satu anggaran terbesar dalam sejarah Indonesia, tapi regulasi soal transparansi dan akuntabilitasnya hampir tidak ada.”
Ada yang Senang, Ada yang Trauma
Saat kunjungan media ke dapur di Jakarta Selatan, wartawan melihat persiapan ratusan porsi nasi, ayam, dan sayur dilakukan oleh staf berseragam rapi. Banyak sekolah mengaku sangat terbantu, terutama di tengah harga pangan yang terus naik.
Seorang ibu bernama Rohmani mengatakan ia merasa lebih tenang karena keenam anaknya kini mendapatkan asupan bergizi dari program tersebut.
Namun tidak semua orang bisa merasa demikian.
Rini, ibu Nabila, kini berubah dari pendukung menjadi pengkritik. “Ini soal nyawa. Saya tidak mau ada anak lain yang mengalami apa yang menimpa Nabila.”







Komentar