✍️Meilanie Buitenzorgy
Saya sungguh kehabisan kata-kata menyaksikan video konvoy ambulans di Kabupaten Bandung Barat. Ambulans-ambulans tersebut hilir mudik mengangkut anak-anak sekolah yang keracunan MBG sejak Senin 22 September 2025.
Ditambah lagi dengan video-video anak-anak yang kejang-kejang, muntah-muntah dan sesak nafas akibat keracunan MBG di Cipongkor.
Total per Kamis siang kemarin, sekitar 1000 anak keracunan MBG di Kecamatan Cipongkor saja. Angka ini masih bergerak dinamis.
Anak-anak yang sudah dipulangkan dari RS pun tak sedikit yang kembali masuk RS, karena sampai rumah masih mengalami berbagai gejala: sakit perut luar biasa, kejang-kejang, muntah-muntah hingga sesak nafas.
Sejak Indonesia Merdeka, baru kali ini terjadi ribuan anak-anak keracunan massal akibat PROGRAM PEMERINTAH.
Yang membuat dada ini sesak, campur aduk antara kesedihan dan kemarahan adalah, bahkan hingga sampai titik ini pun Pemerintah BERSIKERAS terus melanjutkan program MBG.
Makan Gratis, dua kata ini tidaklah sesederhana seperti yang dipikirkan Sang Penggagas. Penyediaan makanan matang gratis secara massal untuk puluhan juta anak sekolah setiap hari adalah sebuah pekerjaan yang sangat amat rumit. Dan Negara ini tidak punya dua hal sekaligus yang menjadi prasyarat MBG bisa terlaksana: infrastruktur dan kapasitas teknis.
Di negara-negara maju yang memiliki program free lunch terbatas, makanan dimasak di dapur sekolah, lalu dihidangkan di kantin. Bukan dimasak lalu di-drop entah dari mana, lalu dimakan anak-anak sambil ngejogrok di lantai koridor sekolah.
Pemerintah menyalahkan dapur-dapur MBG yang memasak terlalu awal hingga makanan sampai di tangan anak-anak sudah keburu basi. Lho, ini kan konsekuensi nyata dari ketiadaan infrastruktur dapur dan kantin di sekolah.
Tiap dapur MBG itu harus melayani beberapa sekolah sekaligus. Ribuan porsi harus disiapkan, jam 7 pagi sudah harus didistribusikan ke sekolah-sekolah. Otomatis makanan harus mulai diproses hingga dimasak dari tengah malam hingga dinihari. Para pekerja dapur dipaksa bekerja dalam jam kerja tak normal: dari malam ke pagi hari. Konsekuensi makanan basi, berulat, berlintah, ber-bekicot jadi sulit dihindarkan.
MBG hanya bisa terlaksana dengan normal jika setiap sekolah punya dapur dan kantin modern. Sehingga proses penyiapan makanan lebih mudah, lebih cepat dan higienitas-nya lebih terjamin. Mari jawab dengan jujur, berapa banyak sekolah di Indonesia ini yang sudah punya dapur dan kantin modern? Jumlahnya pasti jauh lebih sedikit dibanding jumlah sekolah yang atapnya bocor, temboknya hampir roboh, toiletnya jorok dan bau, tidak punya listrik, tidak punya air bersih, tidak punya perpustakaan, tidak punya laboratorium penunjang, tidak punya cukup meja-kursi dan papan tulis, guru-gurunya tidak dibayar, murid-muridnya tidak punya seragam, alat tulis hingga alas kaki, dst.
Pemerintah menyalahkan 8549 dapur MBG yang belum punya Sertifikat Laik Higienis dan Sanitasi (SLHS) dari Kemenkes. Baru 34 dapur MBG yang punya SLHS. Lha, ini kan salah satu prasyarat kapasitas teknis yang harusnya dipenuhi dan menjadi tanggung jawab Pemerintah? Pemerintahlah yang seharusnya memberikan training SLHS kepada seluruh SPPG sebelum MBG dilaksanakan.
Memaksakan pelaksanaan MBG tanpa terlebih dahulu memenuhi dua prasyarat dasar ketersediaan infrastruktur dan kapasitas teknis itu ibarat memaksa bayi umur 3 bulan makan sendiri.
Presiden bahkan tega-teganya malah menyalahkan anak-anak: “Anak-anak itu keracunan MBG karena mereka makan tidak pakai sendok,”
Zulkifli Hasan lebih tak punya akhlak, otak dan empati. Dengan enteng dia katakan anak-anak itu sakit perut karena tidak terbiasa makan enak.
Banyak ahli berpendapat, supaya lebih bermanfaat MBG harusnya hanya diberikan kepada anak-anak keluarga miskin di daerah 3T saja. Para ahli ini lupa soal prasyarat infrastruktur dan kapasitas teknis tadi. Sekolah-sekolah di daerah terpencil tentu saja tak punya infrastruktur penunjang MBG, sementara pemerintah tak punya kapasitas teknis untuk menyediakan MBG di daerah 3T. Jangankan daerah terpencil, distribusi MBG di kota-kota saja berantakan: ribuan anak keracunan.
Dan jelas, sekolah-sekolah 3T itu lebih membutuhkan listrik, air bersih, toilet, perbaikan bangunan sekolah, perpustakaan, laboratorium dst ketimbang dapur dan kantin modern. Di lain pihak, sekolah-sekolah yang sudah punya dapur dan kantin modern tak butuh MBG. Murid-muridnya mampu membeli makanan yang jauh lebih mewah dari MBG.
Dan, hanya sekedar untuk membuat janji kampanye tick-tick, Pemerintah memaksakan MBG pada anak-anak sekolah yang tak butuh MBG, karena tak mampu menyediakan MBG untuk sekolah-sekolah di daerah 3T.
Saya melakukan survey kecil-kecilan soal MBG terhadap teman-teman sekolah-kuliah di WAG. Hampir semua teman yang anaknya mendapatkan MBG bercerita bahwa anaknya tak mau makan makanan MBG. Mereka lebih pilih jajan atau bawa bekal dari rumah. Lalu jatah MBG mereka bagaimana? Ya dibuang ke tong sampah. Kalau sekolah melarang membuang jatah MBG, terpaksa mereka bawa pulang MBG pakai ompreng, lalu sampai rumah baru dibuang. Dan ya, kebanyakan sekolah-sekolah tersebut melarang murid-murid mem-foto atau meng-upload menu MBG ke media sosial. Jika ada masalah MBG jangan dibesar-besarkan, cukup lapor ke guru saja.
Maka angka total kasus keracunan MBG yang sudah mencapai 6500 korban itu mungkin hanya fenomena gunung es saja. Jika belum menjadi KLB dan keracunan massal, mungkin korban-korban keracunan MBG tidak terdata dan tidak sampai ke media.
Saya tak berani membayangkan, bagaimana jika ke depan KLB keracunan MBG di suatu daerah melebihi kapasitas RS setempat. Bisa-bisa ada anak yang harus meninggal keracunan MBG karena tak tertangani RS setempat.
Naudzubillaahi min dzalik…
Ini kita baru bicara soal dampak langsung MBG berupa keracunan terhadap anak-anak. Belum lagi dampak anggaran yang sudah dialami langsung oleh masyarakat. Bagaimana kinerja pos-pos pelayanan publik terganggu karena anggarannya dialihkan ke MBG. Adalah miris menyaksikan bagaimana dalam satu keluarga, anaknya dapat MBG tapi orang tuanya kehilangan pekerjaan karena anggaran honornya dialihkan ke MBG. Miris membaca berita perahu ambulans di Madura tak bisa beroperasi karena anggaran bensin tak ada.
Sampai titik ini, tidak bisakah kita akui saja bahwa MBG ini adalah sebuah MISSION IMPOSSIBLE. Kita tak bisa memaksakan bayi 3 bulan makan sendiri. Kita tak mungkin melaksanakan MBG kalau prasyarat infrastruktur dan kapasitas teknis belum terpenuhi. Sementara itu, prasyarat infrastruktur dan kapasitas teknis untuk MBG bukanlah hal yang urgent untuk kemajuan bangsa ini. Rakyat Indonesia lebih membutuhkan bangunan sekolah yang layak dan guru-guru yang digaji layak ketimbang pembangunan dapur-kantin modern di sekolah-sekolah dan training Sertifikat SLHS.
Kengototan Pemerintah melaksanakan MBG sungguh membuat kita frustrasi. DPR yang seharusnya berperan menjadi corong rakyat justru jadi pihak yang complicit dengan gelontoran duit proyek MBG bagi sebagian anggotanya.
Jika MBG terus dipaksakan hanya demi harga diri penggagasnya, maka gelar Presiden terkejam dalam sejarah Indonesia harus berpindah tangan: dari Sang Penguasa 32 tahun ke You-Know-Who.
(sumber: fb penulis)







Komentar