✍🏻Nur Fitriyah As’ad
Izin ngomel sore-sore….
Hei Kamu, yang mendadak pro pemerintah karena MBG, minggir dulu.
Ada satu pemandangan menarik di negeri ini.
Kenapa untuk program makan siang gratis, pemerintah bisa terbang jauh hingga ke berbagai negara. Studi banding, kunjungan resmi, bertemu ahli gizi, menengok sistem dapur sekolah luar negeri, meminta bantuan, semua dijalani dengan penuh semangat.
Tapi ketika Aceh diterjang banjir dan longsor, ketika tanah menelan desa-desa, ketika jenazah masih tertimbun lumpur sepinggang,
tiba-tiba kita diberitahu bahwa negara mampu mengatasi semuanya sendiri, tanpa bantuan siapapun.
Relawan China yang datang pun, hanya lima orang, dengan alat pendeteksi jenazah, segera diberi label:
“Itu bukan bantuan asing. Itu personal.”
Aneh, bukan?
Pergi ke berbagai negara demi makan siang gratis yang tidak darurat-darurat amat. Lima orang datang membantu mencari korban yang hilang, takut amat disebut sebagai bantuan asing.
Ironi ini makin terasa ketika kita sadar,
yang dipertaruhkan di Aceh bukan soal menu gizi, bukan rekomendasi dapur industri, bukan rencana makan mingguan.
Yang dipertaruhkan adalah NYAWA MANUSIA, —yang belum ditemukan, yang keluarganya menunggu dengan dada semakin sempit.
Tapi entah bagaimana, bantuan asing untuk urusan jenazah dianggap lebih sensitif dibanding bantuan asing untuk urusan makan siang.
Dan di tengah semua itu, Mualem yang jelas-jelas sedang memikul penderitaan rakyatnya, harus menjelaskan bahwa ia hanya ingin mempercepat pencarian. Agar setiap keluarga bisa memakamkan orang yang mereka cintai.
Tapi begitulah negeri ini.
Kadang, untuk urusan makan siang, kita rela menembus batas negara.
Namun untuk urusan menemukan korban bencana, untuk membuka akses bantuan agar rakyat tidak mati kelaparan, justru membatasi batas bantuan.







Komentar