KRITIK PENGUASA = GHIBAH ?
Oleh: Arsyad Syahrial
Lagi-lagi si Pudel, ngustad gerombolan Neo Murji-ah, membuat kesalahan fatal dalam tulisan opininya karena menyamakan secara mutlak kritik terhadap kebijakan publik dengan ghibah / menggunjing aib pribadi.
Di mana letak salahnya ❓
Mari kita bahas…
🔴 Pertama, keliru dalam memahami definisi ghibah (“Bantahan Poin 1 & 3)
Si Pudel mengklaim mengkritik di luar hadapan penguasa adalah ġībah yang ḥarōm. Padahal, para ùlamā’ sepakat bahwa ġībah itu memiliki pengecualian-pengecualian.
Al-Imām Yaḥyā ibn Ṡarof an-Nawawiyy رحمه اللـه تعالى di dalam kitāb Riyāḍuṣ-Ṣōliḥīn (Bab al-Ġībah) menegaskan:
الغيبة تباح لغرض صحيح شرعي
“Ġībah itu diperbolehkan untuk tujuan syar’i yang benar yang tidak mungkin tercapai kecuali dengannya.”
Beliau menyebutkan 6 kondisi ghibah yang dibolehkan, di 3 di antaranya adalah:
1. At-Taḥżīr: memperingatkan kaum Muslimīn dari keburukan.
2. At-Taẓollum: mengadukan keẓōliman.
3. Al-Istiȁnah: meminta bantuan untuk mengubah kemungkaran.
⇛ Kebijakan penguasa yang ẓōlim (misal: melegalkan kema`ṣiyatan, menindas rakyat, korupsi, nepotisme) termasuk dalam kategori “Kemungkaran Publik”, ia bukan àib pribadi (seperti: cacat fisik atau dosa di dalam kamar tidurnya). Maka membicarakan kemungkaran publik untuk mengingatkan ummat adalah bagian dari “nahyi munkar”, sama sekali bukan ġībah.
🔴 Kedua, keutamaan mengkritik penguasa lalim (“Bantahan Poin 1”)
Klaim bahwa kritik harus dilakukan “diam-diam” terbantahkan oleh pujian Baginda Nabiyy ﷺ terhadap mereka yang berani bersuara.
Kata Baginda Nabiyy ﷺ:
سَيِّدُ ٱلشُّهَدَاءِ حَمْزَةُ ، وَرَجُلٌ قَامَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ فَقَتَلَهُ
“Pemimpin para Syuhada adalah Ḥamzah, dan seseorang yang berdiri di hadapan penguasa lalim lalu memerintahkannya dengan ma’ruf dan melarangnya dari kemunkaran, lalu ia dibunuh.” [HR al-Ḥākim, al‑Mustadrok no 4884; Ibnu Ḥibbān, al‑Majrūḥīn I/186 ~ dinyatakan ḥasan oleh Muḥammad Nāṣiruddīn al-Albāniyy, Ṣoḥīḥ al‑Jāmi no 3675]
⇛ Hadits mulia ini memuji keberanian (ṡajāàh) dalam amar ma`rūf nahyi munkar. Sedangkan kata “di hadapan” tidaklah mensyaratkan pertemuan empat mata di dalam ruang tertutup, melainkan keberanian menyampaikan kebenaran secara langsung atau menyuarakan kebenaran yang tidak disukai penguasa.
🔴 Ketiga, praktik para Sahabat رضي اللـه تعالى عنهم adalah kritik terbuka di depan umum (“Bantahan Poin 3”)
Jika mengkritik di depan umum itu ḥarōm secara mutlak, maka niscaya para Ṣoḥābat Nabiyy رضي اللـه تعالى عنهم adalah orang-orang pertama yang menjauhinya. Namun faktanya ternyata malah sebaliknya.
Kasus 1: Abū Saȉd al-Ḳudriyy vs Marwān ibn al-Ḥakam, di dalam Ṣoḥīḥ al-Buḳōriyy dan Ṣoḥīḥ Muslim, dikisahkan Gubernur Marwān ibn al-Ḥakam ingin mengubah urutan ṣolāt Ȉd (mendahulukan ḳutbah sebelum ṣolāt). Maka Abū Saȉd al-Ḳudriyy menarik baju Marwān di hadapan jamāàh ṣolāt Ȉd dan berkata lantang: “Demi Allōh, kamu telah mengubahnya!”
Abū Saȉd al-Ḳudriyy رضي اللـه تعالى عبه mengingkari secara langsung di depan umum karena kemungkarannya terjadi di depan umum, namun tak pernah ada ùlamā’ yang menyebut Beliau melakukan ġībah.
Kasus 2: Seorang perempuan menginterupsi Ḳolīfah Ùmar ibn al-Ḳoṭṭōb رضي اللـه تعالى عبه ketika Beliau berpidato membatasi mahar. Perempuan itu berdiri dan menyanggahnya dengan membacakan ayat ke-20 dari QS an-Nisā’ di hadapan khalayak.
Respon Ḳolīfah Ùmar adalah justru dengan mengatakan:
أصابت المرأة وأخطأ عمر
“Perempuan ini benar sedangkan Ùmar salah.”
⇛ Ùmar sama sekali tak marah apalagi menangkap perempuan itu, ataupun menuduhnya telah membuka àib.
🔴 Keempat, para Salafuṣ-Ṣōlih membedakan antara aib pribadi dengan kemungkaran publik
Klaim “mengkritik benar di depan publik = membongkar àib” adalah kesalahan fatal.
Syaikhul Islam Imam Ibn Taimiyyah رحمه اللـه تعالى menegaskan:
المنكر إذا كان ظاهرًا وجب إنكاره علنًا
“Kemungkaran jika dilakukan secara terang-terangan, maka ia wajib diingkari secara terang-terangan pula.” [lihat: Majmū` al-Fatāwā XXVIII/221].
Para ùlamā’ Salaf semisal:
▪ Imām Ḥasan al-Baṣriyy رحمه اللـه تعالى mengatakan:
لا غيبة لثلاثة : فاسق مجاهر بالفسق ، وذي بدعة ، وإمام جائر
“Tiada ġībah kepada tiga macam orang: fāsiq yang berbuat kema`ṣiyatan secara terang-terangan, ahli bidàh, dan penguasa yang lalim.” [lihat: al-Mujālasah wa Jawāhir al-Ìlmi IV/196].
▪ Imām Ibrōhīm an-Naḳoìyy رحمه اللـه تعالى mengatakan:
ثلاث كانوا لا يعدوهن من الغيبة : الإمام الجائر ، والْمبتدع ، والفاسق المجاهر بفسقه
“Ada tiga yang mereka tak memasukkannya ke dalam ġībah: pemimpin yang lalim, ahli bidàh, dan orang fāsiq yang berbuat kefāsiqkan secara terang-terangan.” [lihat: Żammul-Ġībah wan-Namīmah].
▪ Imām Sufyān ibn Ùyainah رحمه اللـه تعالى mengatakan:
ثلاثة ليست لهم غيبة : الإمام الجائر ، والفاسق المعلن بفسقه ، والمبتدع الذي يدعو الناس إلى بدعته
“Ada 3 yang tak mengapa diġībahi: penguasa yang lalim, orang fāsiq yang terang-terangan berbuat kefāsiqkan, ahli bidàh yang mengajak manusia mengikuti kebidàhnya.” [lihat: Ṡuàbul-Īmān IX/126].
▪ Imām Asad ibn Mūsā رحمه اللـه تعالى mengatakan:
ثلاثة لا غيبة فيهم : صاحب بدعة ، وأمير غشوم ، ومن ألقى جلباب الحياء وظاهر بالسوء
“Ada tiga yang tiada ġībah atas mereka: ahli bidàh, pemimpin yang sangat lalim, orang yang melemparkan tirai malu, serta yang berbuat kejahatan secara terang-terangan.” [lihat: Riyāḍ an-Nufūs I/268].
▪ Imām Yaḥyā ibn Abī Kaṫīr رحمه اللـه تعالى mengatakan:
ثلاثة لا غيبة فيهم إمام جائر وصاحب بدعة وفاسق
“Ada tiga yang tiada ġībah pada diri mereka: penguasa yang lalim, ahli bidàh, dan orang fāsiq.” [lihat: Żammul-Kalām wa Ahlihi IV/217].
⇛ Para Salafuṣ-Ṣōlih memahaminya: apabila penguasa berzina di dalam rumahnya maka wajib ditutupi (berikan nasihat secara rahasia); sedangkan jika penguasa membuat kebijakan yang menyengsarakan rakyat atau melanggar ṡarīàh, maka wajib diingkari, karena ini urusan ummat, bukan privasi.
🔴 Kelima, nasihat rahasia adalah metode, bukan satu-satunya jalan (“Bantahan Poin 4”)
Hadits mulia yang sering dipakai adalah:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فِي أَمْرٍ فَلَا يُبْدِهِ عَلَانِيَةً ، وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ ، وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى ٱلَّذِي عَلَيْهِ
“Siapa saja yang ingin menasihati penguasa dalam suatu urusan, maka janganlah ia tampakkan secara terang‑terangan, tetapi hendaklah ia pegang tangannya lalu menyendiri bersamanya. Jika penguasa menerima nasihatnya, maka itulah yang diharapkan, apabila tidak, maka ia telah menunaikan kewajibannya.”
Imām Ibnu Rojab al-Ḥanbaliyy رحمه اللـه تعالى di dalam Jāmi`ul-Ùlūm wal-Ḥikam menjelaskan bahwa ḥadīṫ ini berlaku jika memungkinkan dan tak menghilangkan maslahat yang lebih besar.
⚠ Jadi jika penguasa menutup diri dan tak bisa diakses untuk berbicara secara empat mata, sedangkan keẓōliman bersifat sistemik, terstruktur, massive, dan brutal, maka diam justru malah memperluas kerusakan dan menyesatkan ummat.
⇛ Maka dari itu amar ma`rūf nahyi munkar secara terbuka diperbolehkan bahkan wajib untuk menjaga agama.
🔴 Keenam, ancaman bagi yang diam terhadap keẓōliman
Menutup pintu kritik sama dengan membiarkan àżāb Allōh turun.
Kata Baginda Nabiyy ﷺ:
إِذَا رَأَى ٱلنَّاسُ ٱلظَّالِمَ فَلَمْ يَأْخُذُوا عَلَى يَدَيْهِ أَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُمُ ٱللَّـهُ بِعِقَابٍ
“Apabila manusia melihat orang yang ẓōlim lalu mereka tak mencegahnya, maka hampir saja Allōh menimpakan àzāb kepada mereka semua secara merata!” [HR Abū Dāwūd no 4338; at-Tirmiżiyy no 2168]
⇛ Ḥadīṫ mulia ini tiada memberikan syarat “harus secara empat mata”. Jika keẓōliman sudah terlihat oleh publik, maka pencegahannya harus dilakukan agar àzāb tak turun.
KESIMPULAN:
Berdasarkan dalīl-dalīl di atas, maka narasi opini si Pudel tersebut tertolak karena:
- Salah definisi: tak semua kritik adalah ġībah, sedangkan kritik terhadap kebijakan publik adalah nahyi munkar.
- Salah kategori: kebijakan publik bukan àib pribadi yang wajib untuk ditutupi.
- Menabrak Sunnah: nasihat rahasia adalah metode prioritas, bukan ḥukum mutlak yang mengḥarōmkan metode amar ma`rūf nahyi munkar lainnya.
- Menyelisihi Salaf: mengḥarōmkan kritik publik secara total bertentangan dengan praktik para Ṣoḥābat Nabiyy رضي اللـه تعالى عنها dan para ùlamā’ Salaf seperti Imām Aḥmad ibn Ḥanbal pada saat terjadi fitnah Ḳolqul-Qur-ān.
- Bidàh Siyāsah: opini àqīdah Neo Murji-ah ini cenderung mematikan fungsi kontrol sosial ummat Islām terhadap penguasa, yang justru berbahaya bagi penguasa itu sendiri (membiarkannya tetap bergelimang dalam dosa).
Demikian, semoga dapat dipahami.







Komentar